1. ASAL USUL SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM
Jauh sebelum Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa di buktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah atau pada tahun 1082 M. Jadi, sebelum zaman walisongo Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara besar-besaran. Maulana Malik Ibrahim yang lebih di kenal penduduk setempat sebagai Kakek Bantal itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419. Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam tetapi banyak juga yang beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qur'an yaitu:
"Hendaknya enkau ajak ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).
Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki, dan pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu.
Di Jawa, Kakek Bantal tidak hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan musyrik.
Caranya beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. Dari huruf-huruf arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Keterangan yang tertulis di makamnya adalah sebagai berikut kuburan itu. "Inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggan para Pangeran, sendi para Sultan dan para Menter, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan Rahmat-Nya dan keridhaan-Nya, dan di masukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari senin 12 Rabiul Awwal tahun 822 H."
Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak di sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu. Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia. Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut di bimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat di panen lebih banyak lagi, sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang memberikan Rezeki, yaitu Allah SWT.
Di kalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagai mana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi 4 kasta: Kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra. Dari ke empat kasta tersebut kasta Sudra adalah kasta yang paling rendah dan sering di tindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang Sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak di beda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia diantara mereka hanyalah yang paling taqwa kepadaNya.
Taqwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak, orang yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada mereka yang berkasta Ksatria atau Brahmana. Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan di kembalikan hak nya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.
Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Cermain. Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh. Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu di ilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan Pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah salah satu strategi para wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak di musuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari Pesantren Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar keseluruh Nusantara.
Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di zaman sekarang. Dimana para ulama menggodok para calon mubaligh di pesantren yang di asuhnya. Bila orang bertanya sesuatu masalah mengenai agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan di jawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak di persulit, ummat harus di buat gembira, tidak di takut-takuti.
Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya; ''Apakah yang dinamakan Allah itu?''
Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala surga bagi hamba-Nya yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepada-Nya.
Jawabannya cukup singkat dan jelas yaitu, ''Allah adalah zat yang diperlukan ada Nya.''
Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang. Sebagaimana sabda nabi bahwa kefakiran menjurus kepada kefakiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari di sibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus di tiru.
2. TAMU DARI NEGERI CERMAIN
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
Untuk menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 M. Raja Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama Islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia di persuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak.
Tidak ada gunanya masuk Islam bila di tunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak keagungan agama Islam.
Rombongan dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang.
Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak diantara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke Desa Leran. Brawijaya sang Raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran. Di Desa Leran itulah Dewi Sari di kuburkan.
Setelah rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit. Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak memberontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang bukan muslim yang mau hidup berdampingan dengan aman dalam satu negara.
Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibraim, seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Wali Songo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 M.
KISAH SUNAN MURIA (Raden Umar Said)
1. ASAL-USUL SUNAN MURIA
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang di tempuh untuk menyiarkan agama islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2. SAKTI MANDRAGUNA
Bahwa sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat fisiknya dapat di buktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis jarak antara kaki undang-undangan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 M. Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam ke pada para penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat di lakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Dikarenakan menunggang kuda tidak mungkin dapat di lakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti kalau Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat di temukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang di segani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana. Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau. Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-muridnya di undang semua. Seperti Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat juga di undang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya. Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus. Karena di bakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas di sentuh. Si gadis naik pitam, nampan yang berisi minuman sengaja di tumpahkannya ke pakaian sang Adipati. Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali di perlakukan seperti itu. Apalagi di lihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono di tamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya. Roroyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena di permalukan oleh Pathak Warak. Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya. Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya, mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu di siramnya sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono di bawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau kediri.
Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya di culik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali ke Ngerang maka akan di jodohkan dengan putrinya itu, bila perempuan akan di jadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
''saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak warak,kata Sunan Muria''.
Tetapi di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju daerah Keling.
''Mengapa kakang tampak tergesa-gesa ?'' tanya Kapa.
Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang di lakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
''kakang sebaiknya pulang ke padepokan Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut di Ajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil kakang tetap berhak mengawininya. kami hanya sekedar membantu.''
Demikian kata Kapa.
''aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri''
ujar Sunan Muria.
''Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali,''
kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di padepokan Gunung Muria.
Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Widu Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono di kembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
''Hai Pathak Warak berhenti kau!''
bentak Sunan Muria
Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang di depannya.
''minggir! jangan menghalangi jalanku !'' hardik Pathak Warak
''boleh saja asal kau kembalikan Dewi Roroyono!''
''Goblok!! Roroyono sudah di bawa Kapa dan Gentiri ! kini aku hendak mengejar mereka"! umpat Pathak Warak
''untuk apa kau mengejar mereka?''
''merebutnya kembali!'' jawab Pathak warak dengan sengit.
''kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah di jodohkan denganku !''
ujar Sunan Muriasambil pasang kuda-kuda.
Tanpa basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak mampu bangkit untuk berdiri apalagi berjalan. Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya di sambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahanpun segera di laksanakan.
Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu di beri hadiah tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri, sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu, siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah di peristri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa mereka dulu buru-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan.
Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki di haruskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan [kemaluan] mereka. Andai kata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus ke arah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah di rasuki Iblis.
Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya di pergoki oleh murid-murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa, kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari. Tak seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah yang di tugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di pulau Seprapat. Ini biasa di lakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak. Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri.
Lalu di tunjukkan akhlak islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang akhirnya tertarik dan masuk islam secara suka rela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.
''memalukan ! benar-benar nista perbuatanmu itu!
cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu !!'' hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
''Bapa guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? mengapa tidak kau bela?''
protes Kapa
''sampai matipun aku tak sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunyaa sendiri itu muridku''
Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama.
Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa di lihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk. Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belengu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang di lakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang di miliki Sunan Muria. Mampu membalikkan erangan lawan.
Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu puncak kesaktian yang di milikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
''Maafkan saya tuan Wiku ''
ujar Sunan Muria agak menyesal''.
Tidak mengapa, menyesal aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu di gunakan untuk jalan kejahatan''. gumam sang Wiku.
Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau ia menguburkannya secara layak.
Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.
[Sumber: Kisah Perjuangan Walisongo
Penerbit: Lintas Media Jombang]
Kisah Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
1. ASAL-USUL
Dalam usia masih muda Syarif Hidayatullah di tinggal mati oleh ayahnya. Ia di tunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai raja Mesir tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian di berikan kepada adiknya yaitu Syarif Narullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
2. PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian di sebut Sunan Gunung Jati. Sedang Fatahillah adalah seorag pemuda Pasai yang di kirim olegh Sultan Trenggana membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati adalah makam dekat Sunan Gunung Jati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda'im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu di sambut gembira oleh pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakra buana dan Syarifah Muda'im itu di makamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda'im minta agar di ijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunung Jati. Syarifah muda'im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka pesantren Gunung Jati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih di kenal dengan sebutan Sultan Gunung Jati.
Tibalah saat yang di tentukean, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhan artinya orang yang di jungjung tinggi.
Di sebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu di ajak masuk islam kembali tapi tidak mau. Meskipun begitu dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam di karenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah di sambut baik oleh Adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah di jodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kuwungten. Dari perkawinan inilah Syarif Hidayatullah di karuniai dua orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.
Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan di sebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid di Demak.
Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan kesultanan Pakungwati dan ia memprolamirkan diri sebagai Raja pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya di salurkan lewat Kadipaten Galuh. Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruk Kesultanan Pakungwati.
Daerah-daerah lain seperti Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kesultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Cirebon.
Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan, diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan seorang pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
'' Bahkan Sunan Gunung Jati pernah di undang ke Cina dan kawin dengan putri kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin hubungan erat antara Cirebon dan negeri Cina, hai ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk di manfaatkan dalam dunia perdagangan. Sesudah kawin dengan Sunan Gunung Jati, putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. KaisaR Putri Ong Tien ini membekali putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang di bawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. ''
Istana dan Masjid Cirebon kemudian di hiasi dan di perluas lagi dengan motif-motif hiasan dingding dari onegeri Cina.
Masjid Agung Sang Ciptarasa di bangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunung Jati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Gunung Jati mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat. Selesai membangun masjid, di teruskan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka di duduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaannya ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sebrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka.Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka. Ada salah seorang pejuang Malaka yang ikut ke Tanah Jawa yaitu Fatahillah. Ia bermaksud meneruskan perjuangannya di Tanah Jawa. Dan di masa Sultan Trenggono ia diangkat menjadi Panglima Perang.
Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya berempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis.
Itu sebabnya ia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah di tugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah di bantu putra Sunan Gunung Jati yang bernama pangeran Sebakingking.
Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Kurang lebih pada sekitar tahun 1479, Sunan Gunung Jati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil. Daratan Cina sejak lama di kenal sebagai gudaangnya ilmu pengobatan, maka di sana Sunan Gunung Jati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan tradisional. Di samping itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah sholat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur terutama bila seseorang mau mendirikan sholat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah dan tumaninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan sholat lima waktu, maka orang yang berobat kepada Sunan Gunung Jati banyak yang sembuh sehingga nama Gunung Jati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.
Di negeri Naga itu Sunan Gunung Jati berkenalan dengan Jendral Ceng Ho dan Sekretaris kerajaan yang bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada suatu ketika Sunan Gunung Jati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming.
Dalam kunjungan itu Sunan Gunung Jati berkenalan dengan putri kaisar yang bernama Ong Tien.
'' Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunung Jati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja.
Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan sholat Tahajud. Beliau hendak sholat di rumah tapi tidak bisa khusyu lalu beliau sholat di masjid, di masjid juga belum bisa khusyu. Beliau heran, padahal bagi para wali, sholat Tahajud itu adalah kewajiban yang harus di laksanakan dengan sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunung Jati sholat di atas perahu yang di tambatkan di tepi pantai Cirebon. Di sana beliau dapat sholat dengan khusyu. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah shalat dan berdo'a''.
Ketika beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan Pulau Jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah di hanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina beliau membuka praktek pengobatan.
Penduduk Cina yang berobat di suruhnya melaksanakan sholat. Setelah mengerjakan sholat mereka sembuh. Makin hari namanya makin terkenal, beliau di anggap sebagai shinse atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi. Kabar adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar. Sunan Gunung Jati di panggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji kepandaian Sunan Gunung Jati.
''Sebagai seorang tabib dia pasti dapat mengetahui mana seorang yang hamil muda atau belum hamil.
Dua orang putri kaisar di suruh maju''.
Seorang diantara mereka sudah bersuami dan sedang hamil dua bulan. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya di ganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementera yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil.
''Hai Tabib asing! Mana diantara putriku yang hamil?'' tanya kaisar.
Sunan Gunung Jati diam sejenak, ia berdo'a kepada tuhan.
''Hai orang asing mengapa kau diam? cepat kau jawab! bentak Kaisar Cina''.
''Dia!''
jawab Sunan Gunung Jati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan.
Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana Kaisar. Namun tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutnya.
''Ayah!! saya benar-benar hamil !''
maka gemparlah seisi istana.
Ternyata bantal di putri Ong Tien telah lenyap entah ke mana. Sementara putri yang cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.
Kaisar menjadi murka, Sunan Gunung Jati diusir dari daratan Cina, ia pun menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun Putri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada sunan Gunung Jati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunung Jati ke Pulau Jawa.
Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan putrinya menyusul Sunan Gunung Jati ke Pulau Jawa. Putri Ong Tien di bekali harta benda dan barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas dan permata. Putri cantik itu di kawal oleh tiga pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri negara. Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien.
Pai Li Bang adalah salah seorang murid sunan Gunung Jati tatkala beliau berdakwah di negeri Cina.
Dalam pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya.Tetua masyarakat balik bertanya.
''Siapa yang bernama Pai Li Bang?''
''Saya sendiri,'' jawab Pai Li Bang.
Kontan Pai Li Bang di gotong penduduk di atas tandu. Di elu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia di bawa ke istana Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang bertanya '' sebenarnya apa yang telah terjadi?''
Tetua masyarakat itu menerangkan.
'' bahwa adipati Ario damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa binggung mencari penggantinya, karena putra Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Patah dan Raden Hasan. Dalam kebingunggan itu muncullah Sunan Gunung jati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Murid itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina. Setelah berpesan demikian Sunan Gunung Jati meneruskan pelayarannya ke Pulau Jawa.
Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak keinginan gurunya, dia bersedia menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai Kadipaten yang paling makmur dan aman.
Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka kadipaten Sriwijaya di ganti dengan nama kadipaten Pai Li Bang, dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih di kenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.
Sementara itu putri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa. Sampai di Cirebon ia mencari Sunan Gunung Jati. Tapi Sunan Gunung Jati sedang berada di Luragung. Putri itupun menyusulnya. Pernikahan antara putri Ong Tien dengan Sunan Gunung Jati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 Putri Ong Tien meninggal dunia.
Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati di Cirebon janganlah anda merasa heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.
Wali songo selalu bermusyawarah apabila menghadapi suatu masalah pelik yang berkembang di masyarakat. Termasuk kebijakan dakwah yang mereka lakukan kepada masyarakat Jawa. Mula-mula Sunan Ampel tidak setuju atas cara dakwah yang di lakukan Sunan Gunung Jati dan Sunan Bonang. Namun Sunan Kudus mengajukan pendapatnya, saya setuju dengan pendapat Sunan Gunung Jati bahwa adat istiadat lama yang masih bisa di arahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke arah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal Gamelan dan wayang kulit kita bisa memberinya warna islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang akan menyempurnakannya.''
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat di terima oleh orang Jawa, dan ini terbukti dikarenakan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat di tolerir oleh Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit-demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus di siarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam Bid'ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
[Buku: Kisah Perjuangan Walisongo
Penerbit: Lintas Media Jombang]
Kisah Sunan Kudus Atau Raden Ja'far Sodiq
1. ASAL-USUL
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolang ini di sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad tanah Jawa disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku Senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid.
Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian di gantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernama asli Ja'far Sodiq. Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga dan bantuan pusaka dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperanga itu dapat di hentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar-laskar Majapahit di ajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu di menangkan oleh pasukan Demak.
2. GURU-GURUNYA
Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja'far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kyai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel. Nama asli Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri china yang datang ke pulau Jawa bersama Laksamana Jendral Cheng Hoo. Sebagaimana di sebutkan dalam sejarah, Jendral Cheng Hoo yang beragama islam itu datang ke pulau Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan islam melalui perdagangan.
Di Jawa, The Ling Sing cukup di panggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak di daerah sungai Tanggulangindan sungai Juwana sebelah timur. Di sana beliau bukan hanya mengajarkan agama islam melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kyai Telingsing, termasuk Raden Ja'far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari China itu Jafar Sodiq mewarisi bagia dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Jafar Sodiq dimasa yang akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Jafar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
3. CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran islam tetapi mudah di rubah maka segera di hilangkan.
3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi di usahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama islam.
4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama islam. dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
5. Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat demi ummat islam. Kalangan ummat islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran islam secara legkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah yang nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim.
Strategi dakwah ini di terapkan oleh Sunan Kalijaga, sunan Bonang, sunan Muria, sunan Kudus, dan sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang di tetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang di dukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut kaum putihan atau aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat di kompromikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih meemeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti itulah Jafar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jafar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gmarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
Sapi itu di tambatkan di halam rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan yang suci menjadi kendaraan para dewa, menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus akan menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus di banjiri rakyat baik yang beragama islam maupun Budha dan Hindu. Setelah sejumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari rumahnya.
''Sedulur-dulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, ''Sunan Kudus membuka suara. ''Saya melarang saudara-saudaramenyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.''
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jafar Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya, ''Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!''
Kontan para penduduk terpesona akan kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan. ''Salah satu diantara surat-surat Al-Qur'an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa arabnya Al-Baqarah, ''Kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al-Qur'an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus. Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil di dapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama islam.
Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang di kagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan ummat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring ummat Budha. Caranya?
memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid berdiri Sunan Kudus membuat Padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini di sesuakan dengan ajaran agama Budha ''Jalan berlipat delapan'' atau ''Asta Sanghika Marga'' yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang banar
2. Mengambil keputusan yang benar
3. Berkata yang benar
4. Hidup dengan cara yang benar
5. Bekerja dengan benar
6. Beribadah dengan benar
7. Dan menghayati agama dengan benar
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak ummat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
D. Selametan Mitoni
Di dalam cerita tutur di sebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti diketahui, rakyat Jawa banyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran agama islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selametan neloni, mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Contohnya bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan di lakukan acara selametan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi ratih. Adat tersebut tidak di tentang secara keras oleh Sunan Kudus, melainkan di arahkan dalam bentuk islami. Acara selametan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada para penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti siti Mariam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al-Qur'an.
Sebelum acara selametan dilaksanakan di adakanlah pembacaan Layang Ambiya' atau Sejarah Para Nabi. Biasanya yang di baca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya' yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan. Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian di ikrarkan (hajatkan di hajatkan) oleh sang dkun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu di lakukan sesajinya tidak boleh di makan melainkan di letakkan di candi, di kuburan atau di tempat-tempat sunyi di lingkungan rumah tuan rumah. Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang sudah di sediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina. Maka pada kesempatan lain, sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat telah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya. Cara tersebut kadang mengecewakan tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak perduli lagi pada syarat yang di ajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang di tempuh untuk meng Islamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama islam.
4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar di atasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya, sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhsil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya di sambut dengan sinis.
''Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu?'' tanya sang Amir
''Dengan Do'a, ''jawab Jakfar Sodiq singkat.
''Kalau hanya Do'a kami sudah puluhan kali melakukannya. Di Tanah Arab ini banyak para ulama dan Syekh-syekh ternama, tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.''
''Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga Do'a mereka tidak terkabulkan, ''kata Jakfar Sodiq.
''Hem, sungguh berani Tuan berkata demikian, ''kata Amir itu dengan nada berang. ''Apa kekurangan mereka?''
''Anda sendiri yang menyebabkannya, ''kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. ''Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga Do'a mereka tidak ikhlas. Mereka ber Do'a hanya karena mengharap hadiah.''
Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu di persilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq ber Do'a dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit ganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir, rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang di janjikannya bermaksud di berikan kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis sang Amir mengijinkannya. Batu itupun di bawa ke Tanah Jawa, di pasang di pengimaman masjid Kudus yang di dirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang di bangunnya di namakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
5. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu takdapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus-menerus. Para penduduk berjaga-jaga kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka. Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimaupun tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran, mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini ada harimaunya. Dengan senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan.
Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa.
''Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?'' tanya tetua desa.
''Tidak, ''jawab lelaki berjubah putih itu ''semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau.''
''Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus-menerus, ''gumam tetua desa.
''Kalau begitu namakanlah desa ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada sima. ''kata lelaki berjubah putih.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih itu bermalam di namakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenangan atau lebih di kenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Pagi itu udara masih terasa meng gigit tulang, seiring dengan langkah lelaki berjubah putih itu dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung desa Pengging, tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil mengeluarkan suara khasnya. Adanya suara burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok manusia yang akan di cabut nyawanya oleh sang malaikat maut. Siapakah orang yang bakal mati hari ini?
Siapa pula orang yang berjubah putih itu yang nampak agung dan berwibawa, mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari belakang? apa tujuan mereka ke desa Pengging?
Pengging atau Pajang pada beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging adalah sebuah kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati Hadayaningrat yang memimpinnya adalah putra Prabu Brawijaya Penguasa Majapahit. Adipati Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki yang pertama bernama Kebo Kanigara, yang kedua bernama Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal dunia, kebo kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo Kenanga masuk islam, menjadi murid Syeikh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi Kadipaten warisan orang tuanya. ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup wajar sebagai petani biasa.
Sungguh mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dingding-dingding istana Demak Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan. Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap tunduk kepada Demak Bintoro. Karena itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki Ageng Pengging.
''Ki Ageng, ''kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. ''sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami di perintahkan mengingatkan Andika sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya.''
''Ki Ageng,'' kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. ''Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami diperintahkan mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya.''
Ki Ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam.
''Buat apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya membuat malu Sri Sultan saja. Hai utusan kembalilah dan katakan kepada Sri Sultan aku tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan atas sikapku ini.''
Dua orang utusan itu segera kembali ke istana Demak.
Tak lama kemudian Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas sholat isya dalang pun segera memainkan lakon wayangnya, penduduk berduyun-duyun menyaksikan pertunjukkan gratis itu.
Ketika hampir fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng Pengging mengerang kesakitan Ia merasa si jabang bayi akan segera lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng Pengging. Ternyata bayi yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya. Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya, ''Adimas, karena anakku lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet.''
''Terimakasih atas kesediaan memberi nama anak ini, ''Ujar Ki Ageng Pengging. ''Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria kakang.''
Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat dua orang utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging. Ki Wanapala adalah bekas mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri. Kedudukannya telah di gantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai keterangan.
Namun patih seniour ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa. Ki Wanapala tak berpanjang kata, ia segera kembali ke Demak. Melaporkan segala apa yang di dengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusa Ki Wanapala memberi tenggang waktu selama tiga tahun. Namun ketika tiga tahun lewat Ki Ageng Penggingbelum menghadap ke Demak juga, atas nasehat para wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang di tugaskan kali ini adalah sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas. Karena itu Sunan Kudus yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu mengutus utusan ke empat lagi. Walaupun Sunan Kudus itu panglima perang Kerajaan Demak, tetapi para wali melarangnya menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar mengenakan jubah putih sebab yang di hadapinya adalah santri desa. Berangkatlah Sunan Kudus dengan tujuh iringan prajurit Demak pilihan, yang juga menyamar sebagai santri biasa. Tiga tahun memang telah berlalu dengan cepatnya Ki Ageng Pengging tak pernah menghadap ke Demak. Bahkan kadipaten Pengging yang dulu mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga itu atau Ki Ageng Pengging tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani. Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa di gerakkan jika di perlukan oleh Ki Ageng Pengging. Hal ini di sadari oleh pemerintahan Demak Bintoro. Itu sebabnya Sri Sultan memilih Sunan Kudus untuk mengadili sang pembangkangan yaitu Ki Ageng Pengging ini. Suasana kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu banyak penduduk yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing.
Pendapa atau istana kadipaten tidak kelihatan, di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya. Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap, dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah di lambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang di bunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila Bende itu di pukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia tidak akan berhasil. Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
''Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu.''Kata pelayan itu.
''Aku bukan tamu biasa, '' kata Sunan Kudus. ''Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.''
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang di anggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus di persilahkan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggalah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
''Wahai Ki Ageng, saya diperintahkan Sultan Demak Bintoro.
''Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu, ''kata Ki Ageng Pengging. ''Atas-bawah, luar dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya.''
Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas bahwa Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tida mau mengakui raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak!
Bahwa Ki Ageng Pengging itu adalah murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu telah di hukum mati karena kesesatannya. Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkannya sama sekali. ''Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup, ''kata Sunan Kudus. ''Benarkah apa yang saya katakan tentang hal itu? Saya ingin melihat buktinya.''
''Memang begitu!'' jawab Ki Ageng Pengging. ''Kau anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini Raja, memang aku keturunan Raja. Kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat. Dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!''
Klop sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilsafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para Wali, sehingga Syekh Siti jenar di hukum mati. Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-muris Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan Diplomasi. ''Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya?''
''Jadi itukah yang di kehendaki Sultan Demak'' Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan mati tidak ada bedanya.
Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus.
''Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati.''
Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng
Ki Ageng menghela nafas panjang.....
''Tusuklah siku lenganku ini....! ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya.
Sunan Kudus pun melakukannya. Siku Ki Ageng di tusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.
Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan kerumahnya, setelah tahu pemimpinnya di bunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus.
200 orang bekas prajurit dan perwira di pimpin oleh bekas senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Di bunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan tak tahu harus berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka di sadarkan kembali dengan pengarahan ilmunya.
''Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah di peringatkan selama tiga tahun, tapi tetap dia tidak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!
Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak akan mampu menghadapinya.
''Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini, ''Kata Sunan Kudus. ''Segeralah kalian urus janazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian.''
Orang-orang Pengging itu tak punya pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka.
Sunan Kudus dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak. Cita-cita Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata kesampaian. Anaknya yang bernama Karebet itu diambil anak angkat oleh Ki Ageng Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau Pajang.
Sumber: Buku Kisah Perjuangan Wali Songo
Penerbit: LINTAS MEDIA Jombang
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolang ini di sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad tanah Jawa disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku Senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid.
Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian di gantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernama asli Ja'far Sodiq. Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga dan bantuan pusaka dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperanga itu dapat di hentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar-laskar Majapahit di ajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu di menangkan oleh pasukan Demak.
2. GURU-GURUNYA
Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja'far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kyai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel. Nama asli Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri china yang datang ke pulau Jawa bersama Laksamana Jendral Cheng Hoo. Sebagaimana di sebutkan dalam sejarah, Jendral Cheng Hoo yang beragama islam itu datang ke pulau Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan islam melalui perdagangan.
Di Jawa, The Ling Sing cukup di panggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak di daerah sungai Tanggulangindan sungai Juwana sebelah timur. Di sana beliau bukan hanya mengajarkan agama islam melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kyai Telingsing, termasuk Raden Ja'far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari China itu Jafar Sodiq mewarisi bagia dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Jafar Sodiq dimasa yang akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Jafar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
3. CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran islam tetapi mudah di rubah maka segera di hilangkan.
3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi di usahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama islam.
4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama islam. dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
5. Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat demi ummat islam. Kalangan ummat islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran islam secara legkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah yang nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim.
Strategi dakwah ini di terapkan oleh Sunan Kalijaga, sunan Bonang, sunan Muria, sunan Kudus, dan sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang di tetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang di dukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut kaum putihan atau aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat di kompromikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih meemeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti itulah Jafar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jafar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gmarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
Sapi itu di tambatkan di halam rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan yang suci menjadi kendaraan para dewa, menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus akan menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus di banjiri rakyat baik yang beragama islam maupun Budha dan Hindu. Setelah sejumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari rumahnya.
''Sedulur-dulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, ''Sunan Kudus membuka suara. ''Saya melarang saudara-saudaramenyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.''
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jafar Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya, ''Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!''
Kontan para penduduk terpesona akan kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan. ''Salah satu diantara surat-surat Al-Qur'an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa arabnya Al-Baqarah, ''Kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al-Qur'an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus. Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil di dapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama islam.
Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang di kagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan ummat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring ummat Budha. Caranya?
memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid berdiri Sunan Kudus membuat Padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini di sesuakan dengan ajaran agama Budha ''Jalan berlipat delapan'' atau ''Asta Sanghika Marga'' yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang banar
2. Mengambil keputusan yang benar
3. Berkata yang benar
4. Hidup dengan cara yang benar
5. Bekerja dengan benar
6. Beribadah dengan benar
7. Dan menghayati agama dengan benar
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak ummat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
D. Selametan Mitoni
Di dalam cerita tutur di sebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti diketahui, rakyat Jawa banyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran agama islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selametan neloni, mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Contohnya bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan di lakukan acara selametan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi ratih. Adat tersebut tidak di tentang secara keras oleh Sunan Kudus, melainkan di arahkan dalam bentuk islami. Acara selametan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada para penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti siti Mariam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al-Qur'an.
Sebelum acara selametan dilaksanakan di adakanlah pembacaan Layang Ambiya' atau Sejarah Para Nabi. Biasanya yang di baca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya' yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan. Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian di ikrarkan (hajatkan di hajatkan) oleh sang dkun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu di lakukan sesajinya tidak boleh di makan melainkan di letakkan di candi, di kuburan atau di tempat-tempat sunyi di lingkungan rumah tuan rumah. Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang sudah di sediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina. Maka pada kesempatan lain, sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat telah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya. Cara tersebut kadang mengecewakan tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak perduli lagi pada syarat yang di ajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang di tempuh untuk meng Islamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama islam.
4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar di atasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya, sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhsil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya di sambut dengan sinis.
''Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu?'' tanya sang Amir
''Dengan Do'a, ''jawab Jakfar Sodiq singkat.
''Kalau hanya Do'a kami sudah puluhan kali melakukannya. Di Tanah Arab ini banyak para ulama dan Syekh-syekh ternama, tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.''
''Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga Do'a mereka tidak terkabulkan, ''kata Jakfar Sodiq.
''Hem, sungguh berani Tuan berkata demikian, ''kata Amir itu dengan nada berang. ''Apa kekurangan mereka?''
''Anda sendiri yang menyebabkannya, ''kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. ''Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga Do'a mereka tidak ikhlas. Mereka ber Do'a hanya karena mengharap hadiah.''
Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu di persilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq ber Do'a dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit ganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir, rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang di janjikannya bermaksud di berikan kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis sang Amir mengijinkannya. Batu itupun di bawa ke Tanah Jawa, di pasang di pengimaman masjid Kudus yang di dirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang di bangunnya di namakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
5. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu takdapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus-menerus. Para penduduk berjaga-jaga kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka. Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimaupun tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran, mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini ada harimaunya. Dengan senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan.
Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa.
''Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?'' tanya tetua desa.
''Tidak, ''jawab lelaki berjubah putih itu ''semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau.''
''Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus-menerus, ''gumam tetua desa.
''Kalau begitu namakanlah desa ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada sima. ''kata lelaki berjubah putih.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih itu bermalam di namakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenangan atau lebih di kenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Pagi itu udara masih terasa meng gigit tulang, seiring dengan langkah lelaki berjubah putih itu dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung desa Pengging, tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil mengeluarkan suara khasnya. Adanya suara burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok manusia yang akan di cabut nyawanya oleh sang malaikat maut. Siapakah orang yang bakal mati hari ini?
Siapa pula orang yang berjubah putih itu yang nampak agung dan berwibawa, mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari belakang? apa tujuan mereka ke desa Pengging?
Pengging atau Pajang pada beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging adalah sebuah kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati Hadayaningrat yang memimpinnya adalah putra Prabu Brawijaya Penguasa Majapahit. Adipati Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki yang pertama bernama Kebo Kanigara, yang kedua bernama Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal dunia, kebo kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo Kenanga masuk islam, menjadi murid Syeikh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi Kadipaten warisan orang tuanya. ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup wajar sebagai petani biasa.
Sungguh mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dingding-dingding istana Demak Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan. Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap tunduk kepada Demak Bintoro. Karena itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki Ageng Pengging.
''Ki Ageng, ''kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. ''sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami di perintahkan mengingatkan Andika sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya.''
''Ki Ageng,'' kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. ''Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami diperintahkan mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya.''
Ki Ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam.
''Buat apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya membuat malu Sri Sultan saja. Hai utusan kembalilah dan katakan kepada Sri Sultan aku tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan atas sikapku ini.''
Dua orang utusan itu segera kembali ke istana Demak.
Tak lama kemudian Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas sholat isya dalang pun segera memainkan lakon wayangnya, penduduk berduyun-duyun menyaksikan pertunjukkan gratis itu.
Ketika hampir fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng Pengging mengerang kesakitan Ia merasa si jabang bayi akan segera lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng Pengging. Ternyata bayi yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya. Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya, ''Adimas, karena anakku lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet.''
''Terimakasih atas kesediaan memberi nama anak ini, ''Ujar Ki Ageng Pengging. ''Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria kakang.''
Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat dua orang utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging. Ki Wanapala adalah bekas mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri. Kedudukannya telah di gantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai keterangan.
Namun patih seniour ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa. Ki Wanapala tak berpanjang kata, ia segera kembali ke Demak. Melaporkan segala apa yang di dengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusa Ki Wanapala memberi tenggang waktu selama tiga tahun. Namun ketika tiga tahun lewat Ki Ageng Penggingbelum menghadap ke Demak juga, atas nasehat para wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang di tugaskan kali ini adalah sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas. Karena itu Sunan Kudus yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu mengutus utusan ke empat lagi. Walaupun Sunan Kudus itu panglima perang Kerajaan Demak, tetapi para wali melarangnya menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar mengenakan jubah putih sebab yang di hadapinya adalah santri desa. Berangkatlah Sunan Kudus dengan tujuh iringan prajurit Demak pilihan, yang juga menyamar sebagai santri biasa. Tiga tahun memang telah berlalu dengan cepatnya Ki Ageng Pengging tak pernah menghadap ke Demak. Bahkan kadipaten Pengging yang dulu mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga itu atau Ki Ageng Pengging tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani. Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa di gerakkan jika di perlukan oleh Ki Ageng Pengging. Hal ini di sadari oleh pemerintahan Demak Bintoro. Itu sebabnya Sri Sultan memilih Sunan Kudus untuk mengadili sang pembangkangan yaitu Ki Ageng Pengging ini. Suasana kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu banyak penduduk yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing.
Pendapa atau istana kadipaten tidak kelihatan, di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya. Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap, dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah di lambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang di bunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila Bende itu di pukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia tidak akan berhasil. Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
''Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu.''Kata pelayan itu.
''Aku bukan tamu biasa, '' kata Sunan Kudus. ''Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.''
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang di anggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus di persilahkan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggalah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
''Wahai Ki Ageng, saya diperintahkan Sultan Demak Bintoro.
''Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu, ''kata Ki Ageng Pengging. ''Atas-bawah, luar dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya.''
Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas bahwa Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tida mau mengakui raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak!
Bahwa Ki Ageng Pengging itu adalah murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu telah di hukum mati karena kesesatannya. Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkannya sama sekali. ''Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup, ''kata Sunan Kudus. ''Benarkah apa yang saya katakan tentang hal itu? Saya ingin melihat buktinya.''
''Memang begitu!'' jawab Ki Ageng Pengging. ''Kau anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini Raja, memang aku keturunan Raja. Kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat. Dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!''
Klop sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilsafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para Wali, sehingga Syekh Siti jenar di hukum mati. Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-muris Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan Diplomasi. ''Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya?''
''Jadi itukah yang di kehendaki Sultan Demak'' Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan mati tidak ada bedanya.
Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus.
''Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati.''
Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng
Ki Ageng menghela nafas panjang.....
''Tusuklah siku lenganku ini....! ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya.
Sunan Kudus pun melakukannya. Siku Ki Ageng di tusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.
Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan kerumahnya, setelah tahu pemimpinnya di bunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus.
200 orang bekas prajurit dan perwira di pimpin oleh bekas senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Di bunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan tak tahu harus berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka di sadarkan kembali dengan pengarahan ilmunya.
''Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah di peringatkan selama tiga tahun, tapi tetap dia tidak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!
Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak akan mampu menghadapinya.
''Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini, ''Kata Sunan Kudus. ''Segeralah kalian urus janazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian.''
Orang-orang Pengging itu tak punya pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka.
Sunan Kudus dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak. Cita-cita Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata kesampaian. Anaknya yang bernama Karebet itu diambil anak angkat oleh Ki Ageng Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau Pajang.
Sumber: Buku Kisah Perjuangan Wali Songo
Penerbit: LINTAS MEDIA Jombang
KISAH SUNAN DRAJAD
1. ASAL-USUL
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian di perintah untuk berdak'wah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Raden mulai perjalanannya dengan menaiki perahu dari Gresik sesudah singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu tiba-tiba perahu beliau di hantam oleh ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwa, tapi bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat. Demikian pula halnya dengan Raden Qosim secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan Talang datang kepadanya. Dengan menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke tepi pantai.
Raden Qosim bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterimakasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat.
Untuk itu beliau telah berpesan kepada anak turunannya agar jangan sampai makan daging ikan talang, bila pesan ini di langgar maka akan mengakibatkan bencana, yaitu di tempa penyakit yang tiada obatnya lagi. Ikan Talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), Kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim di sambut masyarakat setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km di sana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdak'wah yang strategis yaitu di tempat ketinggian yang di sebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang di pimpin oleh Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku, beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus di amalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh di campur baur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. Di dalam Museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah Wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga sangat rajin mencari rezeki. Hal itu di sebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.
2. AJARAN SUNAN DRAJAD YANG TERKENAL
Ajaran Sunan Drajad bersumber dari:
1. Al-Qur'an
2. Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel atau prang tuanya
6. ajaran dan pemikiran, atau faham yang telah tersebar luas di masyarakat,
7. tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran islam, dan
8. fatwa Sunan Drajad sendiri
Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan.
Adapun maksudnya adalah sebagai berikut:
Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta) Sejahterakanlah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan) Ajarkanlah budi pekerti (Etika) kepada orang yang tidak tak tahu malu atau belum punya peradaban tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lain pun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya. Tentang puncak Ma'rifat Sunan Drajad menuliskan perumpamaannya sebagai berikut:
''Ilang, jenenge kawula
sirna datang ana keri,
pan ilangwujudira,
tegese wujude widi,
ilang wujude iki,
anenggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
kesorodan sang hyang rawi,
Artinya:
hilang jati diri makhluk
lenyap tiada tersisa,
karena hilang wujud keberadaannya
itulah juga wujud Tuhan,
itulah yang ada ini,
adapun persamaannya,
seperti bintang di waktu siang
yang tersinari matahari.
Di samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota Wali songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan ikut pula mendirikan masjid Demak. Simbol kebesaran ummat islam pada waktu itu.
Di bidang kesenian, di samping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending Pengkur. Hingga sekarang gending tersebut masih di sukai rakyat Jawa. Sunan Drajad, demikian gelar Raden Qosim di berikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajad para ulama'muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.
Sumber: Buku Kisah Perjuangan Wali Songo
Penerbit: LINTAS MEDIA Jombang
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian di perintah untuk berdak'wah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Raden mulai perjalanannya dengan menaiki perahu dari Gresik sesudah singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu tiba-tiba perahu beliau di hantam oleh ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwa, tapi bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat. Demikian pula halnya dengan Raden Qosim secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan Talang datang kepadanya. Dengan menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke tepi pantai.
Raden Qosim bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterimakasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat.
Untuk itu beliau telah berpesan kepada anak turunannya agar jangan sampai makan daging ikan talang, bila pesan ini di langgar maka akan mengakibatkan bencana, yaitu di tempa penyakit yang tiada obatnya lagi. Ikan Talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), Kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim di sambut masyarakat setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km di sana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdak'wah yang strategis yaitu di tempat ketinggian yang di sebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang di pimpin oleh Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku, beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus di amalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh di campur baur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. Di dalam Museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah Wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga sangat rajin mencari rezeki. Hal itu di sebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.
2. AJARAN SUNAN DRAJAD YANG TERKENAL
Ajaran Sunan Drajad bersumber dari:
1. Al-Qur'an
2. Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel atau prang tuanya
6. ajaran dan pemikiran, atau faham yang telah tersebar luas di masyarakat,
7. tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran islam, dan
8. fatwa Sunan Drajad sendiri
Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan.
Adapun maksudnya adalah sebagai berikut:
Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta) Sejahterakanlah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan) Ajarkanlah budi pekerti (Etika) kepada orang yang tidak tak tahu malu atau belum punya peradaban tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lain pun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya. Tentang puncak Ma'rifat Sunan Drajad menuliskan perumpamaannya sebagai berikut:
''Ilang, jenenge kawula
sirna datang ana keri,
pan ilangwujudira,
tegese wujude widi,
ilang wujude iki,
anenggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
kesorodan sang hyang rawi,
Artinya:
hilang jati diri makhluk
lenyap tiada tersisa,
karena hilang wujud keberadaannya
itulah juga wujud Tuhan,
itulah yang ada ini,
adapun persamaannya,
seperti bintang di waktu siang
yang tersinari matahari.
Di samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota Wali songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan ikut pula mendirikan masjid Demak. Simbol kebesaran ummat islam pada waktu itu.
Di bidang kesenian, di samping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending Pengkur. Hingga sekarang gending tersebut masih di sukai rakyat Jawa. Sunan Drajad, demikian gelar Raden Qosim di berikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajad para ulama'muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.
Sumber: Buku Kisah Perjuangan Wali Songo
Penerbit: LINTAS MEDIA Jombang
Langganan:
Postingan (Atom)