Ramalan Jayabaya Tentang Pulau Jawa Yang Bersumber Dari Sunan Giri

Ramalan Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun-temurun oleh para pujangga. Asal-usul utama serat Jangka Jayabaya dapat dilihat pada Kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwasanya Jayabayalah yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
''Kitab Musasar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani''. Meskipun demikian, kenyataannya dua pujanga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka Kakawin Bharatayuddha, kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Asal-usul
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musasar) karangan Sunana Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah buah karya Pangeran Wijil 1dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang pujangga ini memang seorang pangeran yang  bebas. mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah ''Perdikan'' yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang masunya sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, islam, sebagai petemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-v dan Penasehat Sang Baginda bernama Sabda Palon dan Nayagenggong. Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya Sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Mpu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana 1 naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jendralnya bernama Van Outhoom yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G Van Hoorn (1705-1706). Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi restu untuk kejayaan keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn. Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pendapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari senin pon, 7 Maulud tahun Be jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh putranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh NgabehiYasadipura I, pada hari Kemis Legi, 10 Maulud tahun 1672 Jawa=1747 M.
Analisa
Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musasar, yang sebenarnya untuk menyebut ''Kitab Asrar'' karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu. Kitab Asrar itu menurut ikhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai "Giri Kedaton''. Giri Kedaton nampaknya merupakan zaman peralihan kekuasaan islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton islam di Giri ini masih bersifat ''Hakikat'' dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3. Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi Keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak zaman Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahm yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ketangan raja yang mendapat julukan sebagai ''Ratu Bobodo'') ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam dibawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup. Setelah kerajaan ini jatuh pula, lalu diganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa diseluruh Jawa dan Madura. Dia kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta diwilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa diseluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya. Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun tahta, kerajaan besar ini akan pulih kewibawaannya, justru nanti di zaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628-1629 yang diluruk ke Jakarta/Batavia oleh Sultan Agung).
Oleh Pujangga, kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayuddha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/Kediri. Setelah mendapat patokan/data baru raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan ''JANGKA JAYABAYA'' dengan ini yang dipadukan antara sumber serat Bharatayuddha dengan Kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.
Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu dikemudian hari. Cita-cita yang Pujangga lukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukkan gambaran sebuah negara yang besar yang berdaulat penuh yang kini bernama ''REPUBLIK INDONESIA''!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup di abad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut Pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I. Jangka Jayabaya dari kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, kitab Asrar/Musasar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini. Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari Kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni kitab Musasar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.

Kitab Musasar Jayabaya
Asmarandana
1. Kitab Musasar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
2. Beliau sakti sebab titisan Batara Wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
3. Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagendongan. Sangat raharja negaranya.
4. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernamaSultan Maolana.
5. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
6. Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata, ''Sang Prabu Jayabaya, perkanankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musasar.
7. Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain''. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti Kehendak Dewata.
8. Sang Prabu segera menjadi murid Sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musasar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali.
9. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah,
10. Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Kelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke Pulau Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
11. Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
12. Setelah sang putra datang lalu diajak ke Gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke Gunung.
13. Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang merupakan titisan Batara Wisnu.
14. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
15. Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan Ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
16. Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk Ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengan endangnya.
17. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
18. Kedelapan endang seorang. Kemudian Ki Ajar menghaturkan sembah ''Inilah hidangan kami untuk Sang Prabu''. Sang Prabu waspada dan kemudian menarik senjata kerisnya.
19. Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
20. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di Kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
21. Wahai anakku, kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.
Sinom
1. Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musasar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di Pulau Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
2. Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada zaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berubah lagi.
Diberi lambang zaman Catur semune segara asat.
3. Itulah Jenggala, Kediri, Singasari, dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan.
4. Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada zaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
5. Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman Anderpati yang bernama Kalawisesa.
6. Lambangnya; Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, setelah seratus tahun kemudian musnah.
7. Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari Ki Ajar. Kemudian berganti zaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
8. Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya 10 windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan Ki Ajar.
9. Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti zaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya.
10. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Ternyata saya diberi hidangan melati oleh Ki Ajar.
11. Negara tersebut diberi lambang; Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti zaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
12. Negara ini diberi lambang; cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab Ki Ajar dulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti zaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
13. Di cintai pasukannya. kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
14. Raja perkasa tapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari Ki Ajar. Rajanya diberi gelar; Sura Kalpa semune lintang sinipat.
15. Kemudian berganti lagi dengan lambang; Kembang sempol semune modin tanpa sreban. Raja yang ke-empat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nahkoda yang datang berdagang.
16. Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Zaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
17. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar ;semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
18. Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi (Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista). Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
19. Waktu itu pajaknya rakyat adalah uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkhasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya Kara Murka (Raja-raja yang saling balas dendam). Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram (Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
21. Nahkoda (Orang asing) ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, randa loro nututi pijer tetukar (Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
22. Tidak berkesempatan menghias diri (Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi. Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
24. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan Orang tua.
25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh Ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah.
26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja kara murka kutila musnah.
27. Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang (Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah (Orang islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nahkoda ikut ke dalam persidangan.
28. Raja keturunan Waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa (Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (Kawruh Jawa). Letaknya dekat dengan Gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
29. Waktu itulah ada keadilan, Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh Ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.

Sumber: Kisah Perjuangan Walisongo



Isi Ramalan Jayabaya

1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran--- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
Maksudnya adanya alat transportasi modern seperti mobil,sepeda motor, kereta api dan lain sebagainya.
2. Tanah Jawa kalungan wesi--- Pulau Jawa berkalung besi.
Maksudnya adanya jalan (rel) kereta api dari ujung barat Pulau Jawa hingga ujung timur Pulau Jawa.
Tetapi memaknai ramalan Jayabaya akan lebih baik jika melihat hal-hal yang tersirat daripada yang tersurat.
Besi bisa diartikan sebagai kekuatan yang tidak mudah di bengkokkan, kekuatan besar yang membelenggu, yaitu kapitalisme pasar bebas. Negara ini dikendalikan oleh pemilik modal yang rata-rata dari negara asing. Dipaksa menghutang pada lembaga keuangan dunia seperti IMF dan Bank Dunia. Dampaknya lembaga-lembaga keuangan itu punya kekuatan untuk memaksakan kehendaknya.
3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang--- Perahu berjalan di angkasa. Adanya alat transportasi udara seperti prsawat terbang.
4. Kali ilang kedhuge--- Sungai kehilangan mata air.
5. Pasar ilang kumandhang--- Pasar kehilangan suara.
6. Iku tadha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak--- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
7. Bumi saya suwe saya mengkeret--- Bumi semakin lama semakin mengerut.
8. Sekilan bumi dipajeki--- Sejengkal tanah dikenai pajak.
9. Jaran doyan mangan sambel--- Kuda suka makan sambal.
10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang--- Orang perempuan berpakaian lelaki.
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik.
12. Akeh janji ora ditetepi--- Banyak janji tidak ditepati.
13. Akeh wong wani ngalanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
14. Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling melempar kesalahan.
15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
16. Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat di jungjung-jungjung.
17. Barang suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit--- Banyak orang hanya mementingkan uang.
19. Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
20. Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
21. Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
22. Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak.
23. Akeh anak wani ngalawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
24. Nantang bapa--- Menantang ayah.
25. Sadulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
26. Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga.
27. Kanca dadi mungsuh--- Kawan menjadi lawan.
28. Akeh manungsa lali asale--- Banyak orang lupa asal-usul.
29. Ukuman Ratu ora adil--- Hukuman Raja tidak adil.
30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil.
31. Akeh kelakuan sing ganjil--- Banyak ulah-tabiat ganjil.
32. Wong apik-apik padha kapencil--- Orang yang baik justru tersisih.
33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin--- Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
34. Luwih utama ngapusi--- Lebih mengutamakan menipu.
35. Wegah nyambut gawa--- Malas untuk bekerja.
36. Kepingin urip mewah--- Inginnya hidup mewah.
38. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka--- Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
39. Wong bener thenger-thenger--- Orang (yang) benar termangu-mangu.
40. Wong salah bungah--- Orang yang salah gembira ria.
41. Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik.
42. Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat.
43. Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan.
44. Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
45. Wong wadon ilang kawirangane--- Perempuan hilang malu.
46. Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
47. Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
48. Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada suami.
49. Akeh ibu padhangedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
50. Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
51. Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang gonta-ganti pasangan.
52. Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
53. Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik tandu.
54. Randha seuang loro --- Dua janda harga seuang (Red= 8,5 sen).
55. Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis.
56. Dhuda pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
57. Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu.
58. Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
59. Njabane putih njerone dhadu--- Di luar putih di dalam jingga.
60. Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci tapi palsu belaka.
61. Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
62. Akeh udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim.
63. Akeh prawan tuwa--- Banyak perawan tua.
64. Akeh randha ngalairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi.
65. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
66. Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang.
67. Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
68. Omah suci dibenci--- Rumah suci dijauhi.
69. Omah ala saya dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja.
70. Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
71. Akeh laknat--- Banyak kutukan.
72. Akeh pengkianat--- Banyak pengkhianat.
73. Anak mangan bapak--- Anak makan bapak.
74. Sedulur mangan sedulur--- Saudara makan saudara.
75. Kanca dadi mungsuh--- Kawan menjadi lawan.
76. Guru disatru--- Guru dimusuhi.
77. Tangga padha curiga--- Tetangga saling curiga.
78. Kana-kene saya angkara murka--- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
79. Sing weruh kebubuhan--- Barangsiapa tahu terkena beban.
80. Sing ora weruh ketutuh--- Sedang yang tak tahu disalahkan
81. Besuk yen ana peperangan--- Kelak jika terjadi perang.
82. Teka sawa wetan Teka sawa wetan, kulon, kidul lan lor--- Datang dari timur, barat selatan dan utara.
83. Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
84. Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
85. Wektu iku akeh dhandhang diunekake  kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
86. Wong salah dianggep bener--- Orang salah dipandang benar.
87. Pengkhianat nikmat--- Penghianat nikmat.
88. Durjana saya sempurna--- Durjana semakin sempurna.
89. Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
90. Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu.
91. Wong mulya di Kunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
92. Sing curang garang--- Yang curang berkuasa.
93. Sing jijur kojur--- Yang jujur sengsara.
94. Pedagang akeh sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
95. Wong main akeh sing ndadi--- Penjudi banyak merajalela.
96. Akeh barang haram--- Banyak barang haram.
97. Akeh anak haram--- Banyak anak haram.
98. Wong wadon ngalamar wong lanang--- Perempuan melamar laki-laki.
99. Wong lanang ngasorake drajate dhewe--- Laki-laki memperhina drajat sendiri.
100. Akeh barang-barang mlebu luang--- Banyak barang terbuang-buang.
101. Akeh wong kaliren lan wuda--- Banyak orang lapar dan telanjang.
102. Wong tuku nggelenik sing dodol--- Pembeli membujuk penjual.
103. Sing dodol akal okol--- Si penjual bermain siasat.
104. Wong golek pangan kaya gabah diinteri--- Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
105. Sing kebat kliwat--- Yang tangkas lepas.
106. Sing telah sambat--- Yang terlanjur menggerutu.
107. Sing gedhe kesasar--- Yang besar tersasar.
108. Sing cilik kepleset--- Yang kecil terpeleset.
109. Sing anggak ketunggak--- Yang congkak terbentur.
110. Sing wedi mati--- Yang takut mati.
111. Sing nekat mbrekat--- Yang nekat mendapat berkat.
112. Sing jerih ketindhih--- Yang hati kecil tertindih.
113. Sing ngawur makmur--- Yang ngawur makmur.
114. Sing ngati-ati ngrintih--- Yang berhati-hati merintih.
115. Sing ngedan keduman--- Yang main gila menerima bagian.
116. Sing waras nggagas--- Yang sehat pikiran berpikir.
117. Wong tani ditaleni--- Orang (yang) bertani diikat.
118. Wong dora ura-ura--- Orang (yang) bohong berdendang.
119. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane--- Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
120. Bupati dadi rakyat--- Pegawai tinggi menjadi rakyat.
121. Wong cilik dadi priyayi--- Rakyat kecil jadi priyayi.
122. Sing mendele dadi gedhe--- Yang curang jadi besar.
123. Sing jujur kojur--- Yang jujur celaka.
124. ......... ..................
Lihat juga Isi Ramalan Jayabaya Bagian 2 http://hyelinhety2.blogspot.com/2014/11/isi-ramalan-jayabaya_14.html

Sumber: Kisah Perjuangan Walisongo

Kisah Sunan Kalijaga

Diusir Dari Kadipaten
Sunan Kalijaga nama aslinya adalah Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta sering kali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang menganut agama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban di saat menarik pajak kepada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Sering kali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Karena pergaulannya yang terkesan supel itulah dia banyak mengetahui kehidupan seluk-beluk rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya, tapi agaknya ayahnya tidak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami pula posisi ayahnya sebagai Adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya ia sering berada di dalam kamar sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur'an maka sekarang dia keluar rumah, di saat penjaga gudang kadipaten tertidur lelap Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit, Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya, hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka. Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak disangka-sangka. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu sebabnya Raden Said melakukannya dimalam hari secara sembunyi-sembunyi. 
Bukan hanya rakyat yang seakan terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu, penjaga gudang kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit soalnya makin hari barang-barang yang akan disetorkan ke kerajaan Majapahit itu makin berkurang. Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang kadipaten. Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu dia hampir tak percaya, bahwa pencuri itu adalah Raden Said putra jungjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani, khawatir dianggap membuat fitnah maka, penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan digudang. Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan, ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya. Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang akan disetorkan ke Majapahit itu. Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk 200 kali pada tangannya, kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?'
Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat ibu dan adiknya cemas. Apa yang Raden Said lakukan selanjutnya?'
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang yang pelit serta para pejabat kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatan ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya. Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan dia juga mengenakan topeng yang persis dipakai oleh Raden Said. Pada suatu malam Raden Said yang baru saja menyelesaikan sholat isya mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu, begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa, di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sendang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu, dan pemimpin rampok itu berhasil malarikan diri. mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ketempat itu, pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun panik dan kebingunggan, para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said di tangkap dan dibawa ke rumah kepala desa. Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik wajah itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak di sangkanya perampok itu adalah putra jungjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu, Raden Said di anggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha menutup aib jungjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said di usir dari wilayah Kadipaten Tuban.
  ''Pergi dari kadipaten Tuban ini!!!!Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! 'jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dingding-dingding istana kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang sering kau baca dimalam hari' !
Sang Adipati Wilatikta merasa terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah harapan sang Adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.

2. Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah di usir dari kadipaten Tuban?
  'Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya ia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut demikian? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi ia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya. Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi, dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus di awasinya orang tua berjubah putih itu seetelah dekat dia hadang langkahnya, tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih, karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur. Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamati gagang tongkat yang di pegangnya. ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja yang terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.Raden Said heran melihat orang itu menangis, segera di ulurkannya tongkat itu, ''jangan menangis ini tongkatmu ku kembalikan''. 
  ''Bukan tongkat ini yang ku tangisi..Lihatlah! aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan, rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi''.
''Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa? ''tanya Raden Said heran...
''ya memang berdosa! karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata ku cabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk kesia-siaan benar-benar suatu dosa'' jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu. 
     ''Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?''
''Saya menginginkan harta ''
     ''Untuk apa?''
''Saya berikan kepada fakir miskin, dan penduduk yang menderita.
    ''Hemm sungguh mulia hatimu, sayang.. caramu mendapatkannya yang keliru''.
''Orang tua..apa maksudmu?'
     ''Boleh aku bertanya anak muda, ? ''Desah orang tua itu, ''Jika kau mencuci pakaian mu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?
  ''Sungguh perbuatan bodoh'' , sahut Raden Said, 'hanya menambah kotor dan dan bau pakaian itu saja'.
Lelaki itu tersenyum, ''Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing''.
Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya, ''Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.''
Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya, betapa keliru perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
''Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!''
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang di dambakannya selama ini.''Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!''
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah di pelajarinya. Dia mengira orang itu telah menggunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya. Tapi, setelah ia menggerakan ilmunya pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir, ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah digunakan orang itu sehingga mampu merubah pohon aren berubah menjadi emas?
Selama beberapa saat Raden Said terpukau ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah menjadi emas yang berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi, tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat. Ucapan orang tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dalam upaya memberantas kemiskinan. Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan di kerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. 
''   Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.
  Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyebrang.
 ''Tunggu....'' ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
''Sudilah tuan menerima saya sebagai murid....''pintanya.
   ''Menjadi muridku? tanya orang itu sembari menoleh.
   ''Mau belajar apa?''
 ''Apa saja, asal tuan menerima saya sebagai murid...''
   ''Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?''
 ''Saya bersedia......
 Lelaki itu kemudian manancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyebrangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para wali.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al-Qur'an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia berdo'a kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
Do'anya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Tiga tahun kemudian lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan, barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka matanya. Tubuh Raden Said di bersihkan, di beri pakaian baru yang bersih kemudian di bawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. 
Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai, karena dia pernah bertapa di tepi sungai ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan diatas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai, Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianutnya.

''   Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran islam yang benar.

3. Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala rampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis di kenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya, dia benar-benar menyesal telah mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang ibu takpernah tahu bahwa anak yang di dambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban, hanya saja tidak langsung ke istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk mengobati kerinduan sang ibu, tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur'an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban. Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri, banyak tugas yang masih di kerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan, tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan Isterinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat di cinatainya itu. 
Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan Adipati Tuban di berikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa. Raden Said meneruskan pengemberaanya berdakwah atau menyebarkan agama islam di Jawa tengah hingga ke Jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru suci se-tanah Jawa, dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang ber cirikhas Jawa namun tetap Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau di makamkan di Kadilangu, Demak.
   Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah.

Sumber: Kisah Perjuangan Walisongo

Isi Ramalan Jayabaya Bagian 2

124. Akeh omah ing ndhuwur jaran--- Banyak rumah di punggung kuda.
125. Wong mangan wong--- Orang makan sesamanya.
126. Anak lali bapak--- Anak lupa bapak.
127. Wong tuwa lali tuwane--- Orang tua lupa ketuaan mereka.
128. Pedagang adol barang saya laris--- Jualan pedagang semakin laris.
129. Bandhane saya ludhes--- Namun harta mereka makin habis.
130. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan--- Banyak orang mati lapar disamping makanan.
131. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara--- Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
132. Sing edan bisa dandan--- Yang gila bisa bersolek.
133. Sing bengkong bisa nggalang gedhong--- Si bengkok membangun mahligai.
134. Wong waras lan adil uripe nggarantes lan kepencil--- Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
135. Ana peperangan ing njero--- Terjadi perang didalam.
136. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham--- Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
137. Durjana saya ngambra-ambra--- Kejahatan makin merajalela.
138. Penjahat saya tambah--- Penjahat makin banyak.
139. Wong apik saya sengsara--- Yang baik makin sengsara.
140. Akeh wong mati jalaran saka peperangan--- Banyak orang mati karena perang.
141. Kebingungan lan kobongan--- Karena bingung dan kebakaran.
142. Wong bener saya thenger-thenger--- Si benar makin tertegun.
143. Wong salah saya bungah-bungah--- Si salah makin sorak sorai.
144. Akeh bandha musna ora karuan lungane--- Banyak harta hilang entah kemana.
145. Akeh pangkat lah drajat pada minggat ora karuan sababe--- Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
146. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram--- Banyak barang haram, banyak anak haram.
147. Bejane sing lali, bejane sing eling--- Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
148. Nanging sauntung-untunge sing lali--- Tapi betapapun beruntungnya si lupa.
149. Isih untung sing waspada--- Masih lebih beruntung si waspada.
150. Angkara murka saya ndadi--- Angkara murka semakin menjadi.
151. Kana-kene saya bingung--- Di sana-sini makin bingung.
152. Pedagang akeh alangane--- Pedagang banyak rintangan.
153. Akeh buruh nantang juragan--- Banyak buruh melawan majikan.
154. Juragan dadi umpan --- Majikan menjadi umpan.
155. Sing suwarane seru oleh pengaruh--- Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
156. Wong pinter diingar-ingar--- Si pandai direcoki.
157. Wong ala diuja--- Si jahat dimanjakan.
158. Wong ngerti mangan ati--- Orang yang mengerti makan hati.
159. Bandha dadi memala--- Hartabenda menjadi penyakit.
160. Pangkat dadi pemikat--- Pangkat menjadi pemukau.
161. Sing sawenang-wenang rumangsa menang--- Yang sewenang-wenang merasa menang.
162. Sing ngalah rumangsa kabeh salah--- Yang mengalah merasa serba salah.
163. Ana bupati saka wong sing asor imane--- Ada raja berasal dari orang yang rendah imannya.
164. Patihe kepala judhi--- Mahamentrinya bandar judi.
165. Wong asing atine suci dibenci--- Yang berhati suci dibenci.
166. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat--- Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
167. Pemerasan saya ndadra--- Pemerasan merajalela.
168. Maling lungguh wetenge mblenduk--- Pencuri duduk berperut gendut.
169. Pitik angrem saduwure pikulan--- Ayam mengeram diatas pikulan.
170. Maling wani nantang sing duwe omah--- Pencuri menantang si empunya rumah.
171. Begal pada ndhugal--- Penyamun semakin kurang ajar.
172. Rampok padha keplok-keplok--- Perampok semua bersorak-sorai.
173. Wong momong mitenah sing diemong--- Si pengasuh memfitnah yang diasuh.
174. Wong jaga nyolong sing dijaga--- Si penjaga mencuri yang dijaga.
175. Wong njamin njaluk dijamin--- Si penjamin minta di jamin.
176. Akeh wong mendem donga--- Banyak orang mabuk do'a.
177. Kana-kene rebutan unggul--- Di mana-mana berebut menang.
178. Angkara murka ngombro-ombro--- Angkara murka menjadi-jadi.
179. Agama ditantang--- Agama ditantang.
180. Akeh wong angkara murka--- Banyak orang angkara murka.
181. Ngedhekake duraka--- Membesar-besarkan durhaka.
182. Ukum agama dilanggar--- Hukum agama dilanggar.
183. Prikamanungsan di-iles-iles--- Perikemanusiaan di injak-injak.
184. Kasusilan ditinggal--- Tata susila di abaikan.
185. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi--- Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
186. Wong cilik akeh sing kepencil--- Rakyat kecil banyak tersingkir.
187. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil--- Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
188. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit--- Lalu datang raja berpengaruh dan berprajurit.
189. Negarane ambane saprawolon--- Lebar negeri seper delapan dunia.
190. Tukang mangan suap saya ndadra--- Pemakan suap makin merajalela.
191. Wong jahat ditampa--- Orang jahat diterima.
192. Wong suci dibenci--- Orang suci dibenci.
193. Timah dianggep perak--- Timah dianggap perak.
194. Emas diarani tembaga--- Emas dibilang tembaga.
195. Dandang dikandakake kuntul--- Gagak disebut bangau.
196. Wong dosa sentosa--- Orang berdosa sentosa.
197. Wong cilik disalahake--- Rakyat jelata dipersalahkan.
198. Wong nganggur kesungkur--- Si penganggur tersungkur.
199. Wong sregep krungkep--- Si tekun terjerembab.
200. Wong nyengit kesengit--- Orang busuk hati dibenci.
201. Buruh mangluh--- Buruh menangis.
202. Wong sugih krasa wedi--- Orang kaya ketakutan.
203. Wong wedi dadi priyayi--- Orang takut jadi priyayi.
204. Senenge wong jahat--- Berbahagialah si jahat.
205. Susahe wong cilik--- Bersusahlah rakyat kecil.
206. Akeh wong dakwa dinakwa--- Banyak orang saling tuduh.
207. Tindake manungsa saya kuciwa--- Ulah manusia semakin tercela.
208. Ratu karo Ratu pada rembungan negara endi sing dipilih lan disenangi--- Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan dikuasai.
209. Wong jawa kari separo--- Orang jawa tinggal setengah.
210. Landa-Cina kari sejodo--- Belanda-Cina tinggal sepasang.
211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil--- Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
212. Sing eman ora keduman--- Si hemat tidak mendapat bagian.
213. Sing keduman ora eman--- Yang mendapat bagian tidak berhemat.
214. Akeh wong mbambung--- Banyak orang berulah dungu.
215. Akeh wong limbung--- Banyak orang limbung.
216. Selat-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka--- Lambat laun datanglah kelak terbaliknya zaman.

Sumber: Kisah Perjuangan Walisongo