Kisah Sunan Bonang

1. BRAHMANA DARI HINDIA

Agama Islam yang menyebar di Tanah Jawa cukup menggemparkan masyarakat dari dunia lain. Termasuk para pendeta Brahmana dari India. Salah seorang Brahmana bernama Sakyakirti merasa penasaran.
Maka bersama dengan beberapa orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa. Dibawanya pula kitab-kitab referensi yang telah di pelajari untuk di pergunakan berdebat dengan para penyebar agama Islam di Tanah Jawa.
      ''Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu kesaktian''. Ujar Brahmana itu sembari berdiri di atas geladak di buritan kapal layar.
           ''Jika dia kalah maka akan ku tebas batang lehernya. Jika dia yang menang aku akan berlutut mencium telapak kakinya. Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya.''
Murid-muridnya yang selalu berdiri dan mengikutinya dari belakang menjadi saksi atas sumpah yang di ucapkan di tengah samodra. Namun ketika kapal layar yang di tumpanginya sampai di perairan Tuban, mandadak laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala penjuru seolah berkumpul jadi satu, menghantam air laut sehingga menimbulkan badai setinggi bukit.
Dengan kesaktiannya Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak menerjang kapal layarnya, satu dua kali hal itu dapat di lakukannya namun terjangan ombak yang kelima kali membuat kapal layarnya langsung tenggelam ke dasar laut. Dengan susah payah dia mencabut beberapa batang balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samodra.
Walaupun pada akhirnya ia dan para muridnya berhasil menyelamatkan diri, namun kitab-kitab referensi yang hendak di pergunakan untuk berdebat dengan Sang Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut, padahal kitab-kitab itu di dapatkannya dengan susah payah. Cara mempelajarinya pun tidak mudah. Ia harus belajar bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk islam dan menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di perairan Laut Jawa tiba-tiba Kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah di telan air laut.

  Tapi niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut. Ia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah di kenalnya. Ia agak binggung, harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia menoleh ke sana-kemari. Mencari seseorang untuk di mintai petunjuk jalan. Namun tak terlihat seorang pun di pantai itu. Saat hampir putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
   ''Kisanak, kami datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. Dapatkah kisanak memberitahu kami dimana bisa bertemu dengannya?'' kata sang Brahmana.
  ''Untuk apa tuan mencari Sunan Bonang?'' tanya lelaki itu.
   ''Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan,'' kata sang brahmana,'' Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut, meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan.''
Tanpa banyak bicara lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas tongkat itu menancap, membawa keluar semua kitab yang di bawa sang Brahmana.
          ''Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut?'' tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan para pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu. Murid-murid sang Brahmana yang sejak tadi sudah kehausan langsung saja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti memandangnya dengan rasa kuatir, jangan-jangan muridnya itu akan segera mabuk karena meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam.
     ''Segar! aduh segarnya!" seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya. Yang lain segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Brahmana Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa segar. Ia mencicipinya sedikit memang segar  rasanya. Rasa herannya makin menjadi-jadi, terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah putih itu dalam menciptakan lubang air yang memancar, dan mampu menghisap kitab-kitab yang telah tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang yang berjubah putih itu bukan orang sembarangan. ia sudah mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua itu hanya tipuan ilmu sihir? Ternyata bukan! Bukan ilmu sihir, tapi kenyataan!
Seribu Brahmana di India tidak mampu melakukan hal ini! Pikir sang Brahmana. Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap wajah orang berjubah putih itu. ''Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?'' Tanya sang Brahmana dengan hati kebat-kebit
        ''Tuan berada di pantai Tuban!'' Jawab lelaki itu
Serta merta Braahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.''
  ''Bangunlah untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah sudah kau ketahui dari kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat terlarang bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas di persembahkan kepada Allah yan maha agung!'' kata lelaki berjubah putih yang taklain memang Sunan Bonang adanya.
  ''Ampun! ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya!"
rintih sang Brahmana.
   ''Lho bukankah kau ingin berdebat dengnku, juga mau mengadu kesaktian?
''Tukas Sunan Bonang.
''Mana saya berani melawan Paduka, tentulah ombak badai yang menyerang kapal kami juga ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur tingginya. Ilmu paduka tak terukur dalamnya,
''Kata Brahmana Sakyakirti.
  ''Kau salah, aku tidak bisa menciptakan ombak dan badi'' ujar Sunan Bonang.
''Hanya Allah yang mampu menciptakan dan mengerakan seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat kepada-Nya, dari segala macam bahaya dan niat jahat seseorang!''
Sang Brahmana merasa malu. Memang kedatangannya bermaksud jahat. Ingin membunuh Sunan Bonang melalui adu kepandaian dan kesaktian.
Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang telah di bacanya dalam kitab-kitab yang telah di pelajari terbukti. Bahwa barang siapa memusuhi para wali-Nya, maka Allah akan mengumumkan perang kepadanya.
Menantang Sunan Bonang sama saja dengan menantang Tuhan yang mengasihi Sunan Bonang itu sendiri.
Ia bergidik ngeri saat teringat bagaimana dirinya terombang-ambing di terjang ombak badai, berarti Tuhan sendiri yang telah memberinya pelajaran supaya mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang. Ia percaya, jika niatnya di laksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati tapi dia sendirilah yang bakal binasa. Maka sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan berdebat masalah keagamaan.
   ''Kanjeng Sunan, sudilah menerima saya sebagai murid...''kata Brahmana itu kemudian.
   ''Jangan tergesa-gesa'' ujar Sunan Bonang.
''kau harus mempelajari dan mengenal Islam lebih  banyak lagi, lebih lengkap lagi. Sebab apa yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah memahami Islam secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk agama lama atau menerima Islam sebagai agamamu yang terakhir.''
Sekali lagi Sang Brahmana merasa malu, Ternyata Sunan Bonang bersifat arif dan bijaksana, tidak memaksakan kehendak walau sudah berada di atas angin. Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya untuk berlutut maka dia akan bersujud dan menyembah sepasang kakinya.
''Bahwa semua kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas bersama-sama''. Kata Sunan Bonang sembari melanjutkan langkahnya.
Brahmana Sakyakirti dan murid-muridnya segera mengumpulkan kitab yang tercecer lalu mengikuti langkah Sunan Bonang. Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk islam atas kesadarannya sendiri, dan menjadi pengikutnya yang setia. Banyak juga para berandal dan rampok yang di taklukan Sunan Bonang sehingga mereka menjadi orang baik-baik, kembali ke lingkungan masyarakat, menjadi muslim yang bertaqwa.

2. ASAL-USUL
Dari berbagai sumber di sebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dari Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang di segani dan di anggap Mufti atau pemimpin agama se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin. Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama islam hingga ke Tanag seberang, yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ahli ulama Tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab, Persia atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim di perintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban, dan daerah Sempadan Surabaya.

3. BIJAK DALAM BERDAKWAH
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang di sebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang di tonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu di pukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat. Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang memiliki citarasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat beliau yang di jalankan penuh dengan kesabaran. Setelah rakyat berhasil di rebut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang di ajarkan diantaranya tembang yang berisikan ajaran tentang agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan. Murid-murid Raden Makdum ini sangatlah banyak baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdaqwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

3. KARYA SASTRA
Beliau juga menciptakan Karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu di anggap seagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindaha dan makna kehidupan bersama. Suluk Sunan Bonang di sipan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa arab Salaqqatariqa artinya menempuh jalan [Tasawuf]atau tarikat. Ilmumya sering di sebit ilmu suluk. Ajarn yang bisa di sampaikan dengan sekar atau tembang Suluk, sedangkan bola di gunakan decara biasa dalam bentuk prosa di sebut Wirid. Selain itu beliau juga meningglkan Kitab Primbon yang di sebut Primbonan Sunan Bonang.

4. KUBURNYA ADA DUA
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di pulau Bawean. Berita segera di sebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau di makamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang terbungkus milik orang Bawean masih di tambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membuat ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkat jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak di bawa ke Surabaya. karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan itu tertinggal satu. Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan untuk mengangkut jenazahnya tak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang di makamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jam'i Tuban.
Sementara kain kafan yang di tinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh Khidmat. Dengan demikian ada 2 jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan yang di berikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang di anggap asli adalah yang berada di Kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak di ziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.

Sumber: Kisah Perjuangan Wali Songo
            Generasi Pertama Hingga Ke Lima

SIDANG WALISONGO

1. MASALAH ADAT ORNG-ORANG JAWA


Pada suatu ketika Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat orang Jawa seperti Selametan, bersaji dan lain-lain tidak langsung di tentang sebab orang jawa akan lari menjauhi ulama jika di tentang secara keras. Adat istiadat itu di usulkan agar di beri warna atau unsur Islam.
Sunan Ampel bertanya atas usulan Sunan Kalijaga itu.

    ''Apakah adat istiadat lama itu nantinya tidak mengkhawatirkan bila di anggap ajaran Islam? Padahal yang demikian itu tidak ada dalam Ajaran Islam. Apakah hal ini tidak akan menjadikan bid'ah?"

Pertanyaan Sunan Ampel ini di jawab oleh Sunan Kudus.
   ''Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, sebab ada sebagian ajaran agama Budha yang mirip dengan ajaran agama Islam, yaitu orang kaya menolong orang kafir miskin. Adapun mengenai kekhawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang Islam yang akan menyempurnakannya".

Pendukung Sunan Kalijaga ada lima orang, sedang pendukung Sunan Ampel hanya dua orang yaitu Sunan Giri dan Sunan Drajad, maka usulan Sunan Kalijaga yang di terima.
Adat istiadat Jawa yang di warnai Islam itu antaralain selametan mitoni, selametan mengirim do'a untuk orang mati [tahlilan] dan lain-lain yang secara hakiki tidak bertentangan dengan aqidah Islam.
Pada suatu ketika wali berkumpul setelah empat puluh hari meninggalnya Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga tiba-tiba membakar kemenyan. Para wali menganggap tindakan Sunan Kalijaga ini terlalu berlebihan karena membakar kemenyan adalah kebiasaan orang-orang Jawa yang tidak islami.
Sunan Kudus berkata,   ''Membakar kemenyan ini biasanya di lakukan oleh orang Jawa untuk memanggil arwah orang mati, ini tidak ada dalam ajaran agama Islam.
Sunan Kalijaga berkata,  
    ''Kita ini hendak mengajak orang Jawa masuk Islam, hendaknya kita dapat mengadakan pendekatan pada mereka. Kita membakar kemenyan bukan untuk memanggil arwah orang mati, melainkan sekedar mengharumkan ruangan, karena orang-orang Jawa ini kebanyakan hanya mengenal kemenyan sebagai pengharum, bukan wangi-wangian lainnya. Bukankah wangi-wangian itu di sunnahkan Nabi?''
''Tapi tidak harus membakar kemenyan !'' kata Sunan Kudus.
    ''Apakah di dalam hadits di sebutkan larangan membakar kemenyan sebagai pengharum ruangan?'' tukas Sunan Kalijaga.
Wali lainnya hanya diam saja sementara Sunan Kudus yang sebenarnya lebih condong berpihak kepada Sunan Kalijaga kali ini entah mengapa merasa risih atas tindak-tanduk Sunan Kalijaga.
  ''Sunan Kalijaga memang suka yang aneh-aneh,''ujar Sunan Kudus.
''Tapi janganlah Sunan Kalijaga merendahkan martabat sebagai seorang wali dengan memakai pakaian seperti itu.''
Sunan Kalijaga memang lebih sering memakai pakaian seperti rakyat biasa. Celana panjang warna hitam atau biru dan baju dengan warna serupa, ikat kepalanya hanya berupa udeng atau destar. Sunan Kalijaga menjawab,
     ''Di hadapan Allah SWT tidak ada yang istimewa, hanya kadar taqwa yang jadi ukuran derajad seseorang. Bukan pakaian. Lagi pula ajaran Islam hanya menyebutkan kewajiban setiap umatnya menutup aurat. Tidak di sebutkan harus memakai jubah atau sarung. Justru dengan pakaian seperti ini saya dapat bergaul akrab dengan rakyat jelata dan dengan mudah saya dapat memberikan ajaran Islam kepada mereka.''
 Kembali para wali membenarkan pendapat Sunan Kalijaga. Selanjutnya Sunan Kalijaaga juga mengusulkan agar kesenian rakyat seperti gending, tembang dan wayang kulit dapat di terima oleh para wali sebagai media dakwah. Usul ini pun oleh para wali akhirnya di setujui.



2. MASALAH SYEKH SITI JENAR
Apakah Siti Jenar benar-benar ada?
Ada yang mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar itu berasal dari Persia, ada yang menyebut berasal dari tanah Arabia, ada yang mengatakan dia itu putra seorang pendeta dari Gunung Srandil. Ada yang mengatakan putra seorang Raja Pendeta bernama Resi Bungsu dari Pajajaran. Mana sebenarnya yang benar? "
Babad tanah Sunda malah menyebut bahwa Siti Jenar masih keturunan Nabi Muhammad SAW. Benarkah ini?
  Sebagian orang berpendapat tokoh Siti Jenar sengaja di munculkan secara imajiner untuk membendung arus faham Syiah terutama dari sekte Wihdatul Wujud atau Pantheisme/ kesatuan hamba dengan Tuhan atau Manunggaling Kawula Gusti. Sebab masa Wali Songo cukup dekat dengan hidupnya seorang tokoh sufi terkemuka bernama Ibnu Arabi yang berfaham Wihdatul Wujud. Bahkan sejarah telah mencatat bahwa tokoh Wihdatul terbesar dari Baghdad yaitu Al-Hallaj pernah menggembara hingga ke Tanah Hindustan dan berdakwah di negeri itu selama beberapa tahun. Tidak mustahil hal yang di ajarkan Al-Hallaj tersebut diajarkan pula oleh orang-orang Hindia ke Tanah Jawa sebab banyak sekali orang-orang Hindia - Gujarat yang berdagang dan berdakwah ke Tanah Jawa.
Para Wali yang tergabung dalam Wali Songo telah berhasil menyebarkan agama Islam secara besar-besaran di tanah Jawa menurut Mahzab Imam Syafi'i dan berakidah Ahlusunnah Wal Jama'ah. Jelas para wali tersebut tidak ingin faham Wihdatul Wujud yang menimbulkan polemik dan perdebatan di Tanah Baghdad merusak dan mengacaukan akidah yang sudah di imani oleh penduduk Tanah Jawa, maka di ciptakanlah tokoh imajiner bernama Siti Jenar yang fahamnya juga Wihdatul Wujud. Demikian menurut sebagian orang.

Tetapi orang-orang Jawa merasa yakin bahwa Syekh Siti Jenar itu benar-benar ada. Bahkan Syekh Siti Jenar dianggap sebagai tokoh keramat, wali sejati dan guru besar mereka. Keyakinan mereka ini biasanya berdasarkan catatan-catatan Suluk dan Babad tanah Jawi yang biasanya memuat kisah Siti Jenar secara tendesius dan mendiskreditkan peran Wali Songo yang dianggap memusuhi Siti Jenar.
Asal-usul Siti Jenar Menurut Versi Babad Tanag Jawi


Dalam Babad Tanah Jawi [Galuh Mataram], di sebutkan bahwa pada suatu ketika para wali berkumpul di Giri Kedaton - Gresik. Karena Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata yang di anggap raja [mufti] dari para Wali Jawa. Dalam pertemuan itu Sunan Bonang berkata kepada para wali,     ''Wahai anakku Sunan Giri. Saya memberitahukan, bahwa wali di Jawa telah lengkap berjumlah delapan orang. Adik Sunan Kalijaga lah yang menjadi penutup.''
Sunan Giri menyetujui usul Sunan Bonang itu, para wali yang lain juga tidak ada yang keberatan. Sunan Kalijaga sendiri yang justru merasa keberatan.
Berkata Sunan Kalijaga.    ''Hamba menjadi sunan, tetapi belum pernah mendapat petunjuk-petunjuk. Bila tidak keberatan, hamba mohon petunjuk-petunjuk.''
Raden Rahmat Sunan Ampel berkata, ''Anakku Sunan Bonang, baiklah Sunan Kalijaga di beri petunjuk-petunjuk.''
Sunan Bonang menyanggupi, lalu pergilah mereka berdua keluar, mereka pergi ke sebuah telaga dan naik sebuah perahu. Ketika itu perahu yang mereka naiki bocor. Sunan Bonang menyuruh Sunan Kalijaga menambalnya dengan tanah liat. Sunan Kalijaga mengambil tanah liat, lalu di tambalkannya pada tempat yang bocor tadi.
Bulan penuh sedang memancarkan cahayanya yang lembut. Suasana di telaga terasa tenang, tiada riak air membuat bunyi, tak ada angin yang mendesir. Ketenangan dan ketentraman melingkupi kedua makhluk di atas perahu itu. Jalannya pelajaran ilmu hikmah tingkat tinggi dari Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga itu seperti orang yang bermain teka-teki, karena Sunan Bonang mempergunakan kias.
    ''Ada suluh menyala dengan empat pusat, kalau api padam kemanakah perginya?'' kata Sunan Bonang
Sunan Kalijaga menjawab   ''Api pergi ke suluh tidak bercahaya.''
 Jawaban itu betul, karena ia dapat menerimanya dengan baik dan bersamaan dengan turunnya wahyu kepadanya.
Berkata Sunan Bonang   ''Jangan sekali-kali kau ucapkan atau kau ajarkan wejangan ini, karena ini adalah ilmu ghaib [ilmu rahasia]. Kalau ini sampai terdengar oleh makhluk lain, apapun wujudnya dan walaupun ia kafir asalkan ia dapat mengerti maksudnya, ia akan menjadi manusia yang sempurna [insan kamil]''.
Tiba-tiba ada seekor cacing lur yang mengerti akan wejangan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga. Cacing yang menempel di tanah penambal perahu itu berkata, ''Wahai Kanjeng Sunan Berdua, hamba dengan tidak sengaja ikut mendengar segala wejangan yang tuanku bicarakan. Hamba dapat mengerti, sehingga rasa-rasanya hamba akan menjadi manusia''
  Bertanya Sunan Kalijaga,   siapa kau?''
Cacing lur berkata, ''Hamba cacing lur yang ada di dalam tanah liat yang tuanku pakai untuk menambal perahu.''
Sunan Bonang berkata,''sudah menjadi takdir Allah, cacing lur karena mendengar wejangan ini, ia menjadi orang.''
Benar, cacing itu mengeluarkan asap berproses dan akhirnya menjadi manusia, duduk bersujud di kaki Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ia menghormati kepada kedua wali yang dianggap sebagai guru dan penyebab wujudnya menjadi mulia.
Berkata Sunan Bonang, ''Kuterima sembahmu [penghormatanmu], mulai sekarang kamu bernama Syekh Lemah Abang, karena engkau bersal dari tanah liat yang merah rupanya.''
Kemudian Sunan Bonang berkata kepada Sunan Kalijaga,    ''Adi Sunan Kali, itu suatu tanda ke Mahakuasaan Allah, tak dapat dipikir-pikirkan. Sebenarnya adi sebelum di wejang pun telah menjadi kekasih Allah. Yaitu pada waktu kamu hendak pergi haji ke Mekkah. Kamu di suruh kembali dan bertapa di bawah titian galinggang. Kamu tidur di situ 100 hari lamanya, andaikata kamu bukan kekasih Tuhan tentu badanmu sudah hancur lebur. Kamu telah terpilih oleh Tuhan. Kehidupanmu akan abadi, walaupun badanmu akan hancur binasa. Kamu akan terus hidup, walau kehidupanmu takkan menghidupi. Segala Wali belum pernah ada seorangpun yang telah menyebrangi lautan kematian [maut] setepat yang kamu kerjakan. Aku ini seperti menghadapi botol di dalam gelas, dapat melihat maya tapi belum pernah merasakannya. Oleh karena itu bila setuju, tunjukilah aku adi, biarpun aku dikatakan orang kerbau menyusu pada anaknya, wali berguru pada sahabat.''
    Sunan Kalijaga menjawab,    ''hamba menurut, karena hamba hanya bersifat mengantar. Jalannya dapat di katakan mudah tapi juga sulit. Syaratnya hanyalah, tak boleh was-was dalam hati''.
Keduanya lalu berdiri berhadap-hadapan, kedua tangan berpegangan pada pinggang satu sama lain. Keduanya mengheningkan cipta, membaca Do'a - do'a dan dalam sekejap mereka telah sampai di Mekkah, meninggalkan Syekh Lemah Abang, namun tidak lama kemudian Syekh Lemah Abang mampu menyusul gurunya ke Mekkah.
Ternyata di Mekkah para wali yang lain sudah ada di sana. Kemudian mereka sholat jum'at. Sesudah sholat jum'at mereka bermusyawarah untuk mendirikan masjid di Jawa.
Singkat cerita, para wali pulang ke Jawa dan segera mendirikan masjid Demak. Syekh Lemah Abang atau Siti Jenar ikut menyebarkan agama Islam di sebuah daerah yang bernama Lemah Abang. Mula-mula Syekh Lemah Abang ikut shalat jum'at secara rutin di masjid Demak. Namun lama-lama ia jarang hadir di masjid Demak, hal ini menimbulkan tanda tanya di kalangan para wali.
Pada suatu hari, setelah usai menunaikan sholat jum'at. Para wali mengadakan musyawarah yang di pimpin oleh Sunan Giri.
Sunan Giri membuka musyawarah,   ''Saudara-saudara para aulia, soal yang hendak saya ajukan adalah masalah Syekh Siti Jenar. Ia telah lama tidak kelihatan sholat jum'at di masjid Demak. Hal yang demikian menimbulkan pikiran yang bukan-bukan di kalangan orang awam.''
  Syekh Maulana Maghribi menyahut,   ''Tuanku, sebaiknya dia di beri peringatan, karena wali yang tak shalat berjama'ah akan menjadi contoh yang kurang baik. Mungkin orang akan mengira wali teladan meninggalkan syariat Nabi Muhammad SAW.
Atas usul Syekh Maulana Maghribi tersebut kemudian Sunan Giri memanggil dua orang santri yang sudah tinggi ilmunya bernama Santri Kodrat dan Malang Sumirang. Berkata Sunan Giri,  ''Pergilah kamu ke tempat Syekh Siti Jenar. Katakan padanya bahwa ia di tunggu para wali untuk musyawarah.''
Kedua murid itu bersemedi dan dalam sekejap mereka telah sampai di gua pertapaan Syekh Siti Jenar. Mereka memberi salam dari luar goa sambil berkata, ''Prabu Satmata [Sunan Giri] menyuruh menghadap.''
Dari dalam gua terdengar orang menjawab salam itu,  ''Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah SWT. Utusan kembalilah kepada para wali. Kedua utusan itu terbengong-bengong, tak mengerti akan perkataan Syekh Siti Jenar, tetapi mereka dengan patuh kembali, menghadap Sunan Giri dan melaporkan apa yang di alaminya.
 Berkata Sunan Giri, ''Cobalah tirukan apa kata-katanya.''
Santri Kodrat membungkuk,''Kami mendengar jawaban dari dalam gua sebagai berikut:  Syekh Siti Jenar tidak ada yang ada hanya Allah SWT. Utusan kembalilah kepada para Wali.''
 Sunan Giri berkata, ''Kalau begitu kembalilah dan katakanlah bahwa Allah di minta datang ke musyawarah para Wali.''
Kedua orang santri itu membungkuk hormat lalu pergi. Datang di muka gua, mereka menyampaikan perintah Sunan Giri. Sesaat kemudian terdengar jawaban dari dalam gua, ''Allah tidak ada yang ada Siti Jenar.'' Kedua orang santri itu dengan penasaran menyampaikan hal itu kepada Sunan Giri.
 Berkata Sunan Giri,  ''Baiklah, panggilah Siti Jenar dan Allah supaya bersama-sama menghadiri musyawarah para wali.''
Kedua utusan itu pergi untuk ketiga kalinya dan kali ini mereka berhasil membawa Siti Jenar ke hadapan para wali. Setelah memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda, Syekh Siti Jenar mengambil tempatnya. Sunan Giri mengawali pembicaraan, ''Wahai Syekh Siti Jenar, kamu saya undang kemari untuk menghadiri musyawarah para wali tentang ilmu sufi.''
Kemudian Sunan Giri menerangkan tentang apa yang di sebut Dzat Allah, arti wewenang [purbawasesa] kekuasaan Allah di zaman akherat, arti menghidupi dunia-raya, keajaiban Allah dan sebagainya.
Sunan Ampel menambahkan keterangan tentang sifat Allah yang baka dan tak pernah berubah. Sunan Bonang mengatakan hal yang sama yaitu hanya Allah yang hidup baka, tak mengenal perubahan, menguasai hidup segala makhluk dan dunia.
Sunan Kalijaga mengatakan, bahwa Allah itu hidup yang sejati, baka, kekal, dan tak akan mati, menguasai seluruh makhluk, memenuhi dan meliputi seluruh dunia raya.
Para wali yang lain juga memaparkan pengetahuannya, sehingga giliran jatuh pada Syekh Siti Jenar. Ia berkata:

''Khalik dan makhluk itu sama. Jadi bila makhluk menyembah Khalik itu sama saja dengan Khalik menyembah Khalik. Nabi Allah sebenarnya jadi satu dengan Allah dan ada pada Allah. Allah itu hanya sebutan, tidak mempunyai wujud. Muhammad itu pada hakekatnya Nur Allah, dalam bentuk lahir ialah manusia Muhammad. Siti Jenar menjadi gantinya atau wujudnya persatuan Makhluk dan Khalik. Tak ada perasaan karena rasa dan hidupnya sudah satu. Yang berkata-kata ini tidak lain kecuali Syekh Siti Jenar. Hidup itu baka. Dunia dan akhirat sama. Orang sesama hidupnya pun sebenarnya sama dengan Siti Jenar. Semuanya itu sama.''
  Sunan Giri berkata, ''Jika itu kau ajarkan secara langsung kepada masyarakat kita yang masih awam maka mereka bisa jadi salah faham. Masjid akan menjadi kosong karena mereka tidak menghiraukan syariat. Tidak mau menyembah Allah lagi. Penuhilah Syariatnya.''
  Syekh Siti Jenar menjawab dengan tersenyum,  ''Tuanku, kalau hidup itu hanya dipergunakan utuk sembahyang, itu berarti habis di pakai untuk bersopan santun saja. Ibadahnya tidak menjadi kuat. Itu ilmunya orang bodoh dan kafir. Kalau orang itu betul-betul narima pada hakekatnya ia adalah persatuan kawula-gusti. Hendak menjadi Allah, dapat semau-maunya. Tak ada Allah sembahyang, tak ada Allah makan dan tidur, tapi ia menghidupi dunia.''
  Syekh Maulana Maghribi menyahut,  ''Kalau kamu benar-benar Allah dan kamu sudah percaya kepada syariat Nabi tentu kamu rela untuk mati. Tuan Allah Siti Jenar tak ada gunanya di dunia, hanya akan mengosongkan masjid. Lebih baik kau pulang ke Surga.''
  Syekh Siti Jenar dengan tersenyum berkata:
Saya tidak berpegang kepada kepercayaan, dunia dan akhirat saya miliki, karena apa saja yang kasar dan halus adalah milik saya. Semua itu pada hakekatnya adalah saya, Tidak lain. Sudahlah. Selamat tinggal wali-wali semua. Saya akan kembali ke Istikayat. ''Syekh Siti Jenar naik ke angksa, sayup-sayup kelihatan melihat dari pintu surga Rakhmatullah, tampak bercahaya-cahaya seperti matahari tunggang gunung. Semua yang melihat sangat takjub. Sunan Giri memberi salam kepada yang pergi dan mendapat jawaban pula. Sunan Giri berkata lagi,''Saya mohon peninggalan, untuk bukti pada hari yang akan datang.''
  Syekh Siti Jenar:  ''Terimalah baju saya ini, jangan kecewa sesudah saya pergi.''
Baju di lemparkan dari pintu dan menjadi orang yang berdiri bersilang tangan seperti orang yang bersembahyang. Rupanya persis seperti Syekh Siti Jenar, tapi tak berkata-kata. Sunan Giri berkata kepada Sunan Palembang, ''Syekh Siti Jenar telah mengatakan sanggup kembali ke surga dengan badan jasmaninya. Sekarang badan jasmaninya itu telah di kembalikan. Baiklah itu di hukum mati dan di bakar dalam api.''
Syekh Maulana Maghribi bertindak, menarik pedangnya sambil berkata,'' Melihatlah ke angkasa dan tunduklah ke bumi, ucapkan Do'a mu.''
Lalu Siti Jenar di tikamnya dengan pedaang, tapi tidak lud [tidak mempan] walaupun di tikam sampai berkali-kali.
  Syekh Maulana Maghribi berkata dengan penasaran,  ''Siti Jenar!  Kamu berkata rela mati, tapi ketika di tikam tidak mempan. Bukankah itu bohong?'' Seketika tubuh Siti Jenar kelihatan luka-luka tikaman, walau tubuhnya penuh luka tapi tetap berdiri.
Syekh Maulana Maghribi berkata, ''Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah,'' Darah merah yang keluar berhenti, darah putih ganti mengalir.
Syekh Maulana Maghribi berkata lagi, ''Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Sebenarnya kalau insan kamil betul, tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gusti tak terpisah.
Dalam sekejap mata tubuh Siti Jenar hilang secara ghaib. Syekh Maulana Maghribi lalu membuat muslihat, diambilnya seekor anjing putih dari Kudus, lalu di tikam lehernya. Bangkainya di bungkus dengan kain putih, kepalanya di beri sorban, kemudian di pertontonkan ke khalayak ramai dan di umumkan bahwa Siti Jenar telah meninggalkan syariat Nabi Muhammad SAW, sehingga mendapat hukuman mati dan berubah menjadi anjing.
Kabar itu segera terdengar ke seluruh daerah, tersebutlah ada salah seorang murid Siti Jenar yang bernama Lontang Asmara,  ia seorang penggembara kambing. Ia juga mendengar berita kematian gurunya. Maka ia datang ke hadapan para wali. Lalu berkata,  ''Saya dengar tuan-tuan telah membunuh guru saya Syekh Siti Jenar. Kalau hal itu benar, bainya saya di bunuh juga, sebab saya aini Allah juga. Allah yang menggembalakan kambing.''
Syekh Maulana Maghribi segera saja menarik pedangnya dan di tikamnya Lontang Asmara. Lehernya putus, tubuhnya jatuh ke bumi. Tapi seketika tubuhnya hilang lenyap secara ghaib. Semua orang yang melihatnya merasa takjub bukan main. Beberapa hari kemudian anjing pengganti Siti Jenar di bakar. Setelah api padam terdengar suara:    ''Hai para wali, kamu itu pendeta yang berbuat salah terhadap sesama hidup. Kamu pendeta bersifat seperti telur putih di luar, kuning di dalam. Kamu hanya membuat kesusahan di belakang hari. Saya akan membalas cucu dan cicitnya, yaitu pada zaman Mataram, para wali akan rusak. Ingat-ingatlah, bila pada zaman mataram itu ada raja yang suka bertapa pada waktu itulah datangnya pembalasanku. Kalau kamu belum tahu siapa aku ini, dengarlah baik-baik. Saya ini anak seorang pendeta dari gunung Srandil. Saya kena kutuk, ayahku menjadi cacing dan di buang ke pulau Jawa. Saya mendapat ampunan Allah SWT dan kembali menjadi manusia bernama Siti Jenar. Selamat tinggal !''
     ''Demikianlah nukilan kisah Siti Jenar versi Babad Tanah Jawi Galuh Mataram.''

Lain lagi kisah Syekh Siti Jenar yang terdapat dalam Serat Walisanaterbitan Tan Khoen Swie, atas dasar naskah salinan Harjawijaya tahun 1918.
Diceritakan:


Besarlah perguruannya [Sunan Giri]
di cintai para ulama,
adalah seorang muridnya,
dari negeri Siti Jenar,
bernama San Ngali Ansar,
terkenal dari tempat tinggalnya,
di sebutlah ia Syekh Siti Bang.
Di jelaskan bahwa nama asli Syekh Siti Jenar adalah San Ngali Ansar atau Hasan Ali Ansar nama ini adalah nama Arab. Karena itu, timbul dugaan bahwa Syekh Siti jenar berasal dari negeri Arab dan bukan orang Jawa Asli. Adapula yang mengatakan bahwa nama asli Syekh Siti Jenar adalah Raden Abdul Jalil.
Sedang kata Siti Jenar di duga nama tempat tinggal atau paguron Sunan Giri.
Syekh Siti Jenar kadang-kadang juga di sebut Syekh Lemah Abang. Kata Lemah Abang bukan tempat tinggal tetapi asal-usul, yaitu Lemah Abang yang berarti tanah merah.
Ada yang menyebut tempat tinggal Syekh Siti Jenar adalah Krendhasawa, sekitar Jepara, Jawa Tengah.
R. Tanojo. dalam riwayat Wali Sanga [Babad Djati]
di sebutkan:
   Berganti yang di ceritakan, adalah seorang wali yang amat pandai, bernama Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang, tinggal di desa Krendhasawa, dulunya berasal dari rakyat biasa, memperoleh anugerah illahi, dapat menguasai ilmu tertinggi berasal dari Kanjeng Susuhunan Bonang, yaitu pada waktu beliau mengajarkan ilmu wirid kepada Kanjeng Susuhunan Kalijaga di tengah rawa di atas perahu.
 Keberadaan ada atau tidaknya tokoh ini masih di perdebatkan. Karena sejarahnya tidak jelas. Misalnya kapan dan dimana ia lahir dan meninggal. Siapa ayah dan ibunya. Juga siapa istri dan anaknya kalau ada. Terlepas ada tidaknya orang atau sufi yang bernama Syekh Siti Jenar, yang pasti ialah ada paham keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Jawa yang di sebut Manunggaling kawulo-gusti [Menyatukan manusia dengan tuhan]. Walau paham ini di duga berasal dari sufi Persia Al-Hallaj, tetapi karena paham ini berkembang di Jawa dengan istilah Jawa, maka di perlukan seorang tokoh yang dapat dianggap sebagai pembawa ajaran ini di daerah ini.

Umar Hasyim pernah
menulis:
Mereka mengatakan bahwa peristiwa Siti Jenar hanyalah khayalan dan Siti Jenar adalah tokoh yang di adakan saja untuk menyatakan pertentangan antara faham Tashawuf Wihdatul Wujud dengan faham Tashawuf yang benar-benar menurut sunnah Rosul. Faham Wihdatul Wujud atau Ittihad atau Tahallul yang dalam falsafah kejawen di namakan Manunggaling Kawula Gusti adalah sesat. Tuhan Gusti adalah bersatu [manunggal] dengan makhluk [kawula], dan tentunya falsafah ini adalah kufur. Maka cerita Siti Jenar di adakan untuk memperingatkan kepada masyarakat bahwa ajaran Manunggaling Kawula Gusti itu sesat dan berbahaya bagi ajaran tauhid.
Syekh Siti jenar menganut paham Manunggaling Kawula Gusti,

di sebutkan oleh Mark R. Woodward dalam
kutipannya:
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syekh Siti Jenar, ia menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang berjamaah ke mesjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal.
Syekh Maulana Maghribi berpendapat, hal itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan Syariah Nabi Muhammad.
Sunan Giri kemudian mengutus dua santrinya ke goa tempat Syekh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke mesjid. Ketika mereka tiba, mereka di beri tahu, hanya Allah yang ada di dalam goa, lalu mereka kembali ke mesjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke goa dan menyuruh Allah untuk segera menghadap para wali. Kedua santrinya itu kemudian di beri tahu bahwa Allah tidak ada di dalam gua yang ada hanya Siti Jenar, mereka kembali ke Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik Allah maupun Syekh Siti Jenar. Kali ini Siti Jenar keluar dari gua dan ikut menghadap ke para wali. Ketika ia tiba Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang lebih tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia di beritahu bahwa dirinya di undang ke sini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang doktrin sufi.
Di dalam musyawarah ini Syekh Siti Jenar menjelaskan,
   doktrin kesatuan makhluk, yaitu dalam pengertian akhir hanya Allah yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa di gambarkan antara Allah, manusia, dan segala ciptaan lainnya.  
   Sunan Giri mengatakan doktrin itu benar, tetapi ia meminta jangan diajarkan karena bisa membuat kosong masjid dan mengabaikan syariah.
   Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir, yang menjadi masalah bukan substansi ajaran Syekh Siti Jenar, tetapi penyampaiannya kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri, paham Syekh Siti Jenar belum boleh di sampaikan kepada masyarakat luas, sebab mereka bisa binggung. Apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam.
Percakapan Syekh Siti Jenar dengan Sunan Giri juga di ceritakan dalam Buku Siti Jenar terbitan

Tan Khoen Swie:
17. Syekh Siti Jenar berkata:  ''Untuk apa kita membuat binggung, untuk apa kita mempersulit ilmu ?''
Kata Sunan Giri:  ''Benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda salah besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.''
18. Hakikat Tuhan langsung di ajarkan tanpa di tutup-tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya di anugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh di berikan begitu saja
Sewaktu Syekh Siti Jenar masih menjadi murid Sunan Giri, kelihatannya Sunan Giri enggan memberikan ilmu itu kepada Syekh Siti Jenar, karena melihat gelagat yang kurang baik pada diri Siti Jenar. Berkali-kali Siti Jenar memintanya, tetapi Sunan Giri tetap tidak memberikannya, sampai akhirnya Syekh Siti Jenar secara sembunyi-sembunyi mencari kesempatan untuk mendengarkan wejangan Sunan Giri kepada murid-muridnya yang lain.
Dengan cara itu Syekh Siti Jenar ikut mengetahui ilmu yang di ajarkan oleh Sunan Giri dan selanjutnya Syekh Siti Jenar mendirikan perguruan sendiri dan mengajarkannya kepada masyarakat luas.
Sementara umat islam pada zaman itu belum siap menerima ajaran semacam ajaran Syekh Siti Jenar, karena banyak dari mereka baru pindah dari agama Hindu, dan imannya masih lemah. Karena itu akhirnya ajaran Syekh Siti Jenar di anggap meresahkan masyarakat luas. Ia di anggap melawan pemerintah yang sah. Di Pengging ia menghasut Adipati Handayaningrat [Ki Kebokenongo] untuk melawan Sultan Demak. Pengging kemudian di tumpas ketika gejala kekuatannya muncul Handayaningrat sendiri terbunuh dalam penyerbuan tentara Demak ke Pengging yang di pimpin oleh Sunan Kudus. Meskipun dengan tentara yang tidak begitu besar dah taktik yang lihai Sunan Kudus dapat melumpuhkan kekuatan pengging. Kejatuhan Pengging menyebabkan penyebaran ajaran Syekh Siti Jenar menjadi terhenti, di Cirebon Syekh Siti Jenar menghasut Pangeran Carbon, panglima tentara Cirebon beserta penguasa wilayah untuk melawan dan merebut tahta Cirebon. Seperti halnya Pengging, upaya merebut Cirebon juga gagal.
  Syekh Siti Jenar dianggap memiliki paham yang aneh, yaitu menganggap hidup di dunia ini sebagai siksa, sehingga tindakannya menunjukkan sebagai orang yang tidak tahan hidup. Di tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, pertemuan, dan lain-lain mereka tidak mau menyisih agar orang lain marah, dan bila orang lain mengalah mereka menjegalnya agar terjadi perkelahian. Tidak jarang mereka menggunakan senjata tajam agar cepat mati. Para pengikut Syekh Siti jenar pria dan wanita memiliki tabiat yang sama, yaitu angkuh, suka membuat kegaduhan, merampok dan berkelahi. Bila terjadi kejahatan, hampir di situ selalu ada pengikut Syekh Siti Jenar yang menjadi biangnya. Ketika aparat keamanan menangkap mereka, biasanya mereka bunuh diri dalam tahanan. Bila di minta keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka menyatakan,   ''Kami ini adalah murid Syekh Siti Jenar yang sudah banyak mengunyah ilmu. Peduli kata orang lain, hidup di dunia ini hanya menjalani kematian. Kami telah bosan dan jenuh menyaksikan bangkai tak bernyawa yang bertebaran di sana sini. Dunia ini hanya di penuhi mayat.''
Mereka mengejek, mengapa orang mati di ajari sholat untuk menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan. Karena ulah para pengikut dan murid Syekh Siti Jenar itu, ketertiban Demak menjadi terganggu. Setelah berkonsultasi dengan para ulama, Sultan Demak kemudian mengutus dua santri yang terpilih, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat untuk bertukar pikiran dengan Syekh Siti Jenar.
     Dalam perdebatan itu Syekh Siti Jenar dapat mengatasi kemahiran utusan Sultan Demak, bahkan para ulama saat itu kecuali Sunan Kalijaga tidak memahami ajaran Syekh Siti Jenar, dalam perdebatan itu Syekh Domba justru sangat kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar dan bahkan menyetujui kebenarannya. Ia ingin menjadi muridnya secara tulus kalau saja tidak di cegah oleh Pangeran Bayat, kedua utusan itu kemudian ke Demak melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar serta keangkuhan sikapnya.
Sultan lalu berembug dengan para ulama untuk memanggil Siti Jenar ke istana guna mempertanggung jawabkan ajarannya. Lima orang di utus untuk menemui Syekh Siti Jenar yaitu Sunan Ngudung, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pimpinan rombongan. Mereka diikuti oleh 40 santri bersenjata lengkap untuk memaksa Syekh Siti Jenar bersedia datang.
Kelima utusan raja itu kemudian terlibat dalam perdebatan sengit dengan Syekh Siti Jenar. Perdebatan di tutup dengan ancaman yang di sampaikan oleh Sunan Kalijaga tetapi Syekh Siti Jenar tetap tidak sudi ke Demak menuruti perintah, karena menurutnya ulama dan raja tiada beda dengan dirinya yang sama-sama di balut darah dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu ia memilih mati, itu pun bukan karena ancaman Sunan Kalijaga, tetapi karena kehendaknya sendiri.
Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi menutup jalan hidupnya dan kemudian ia meninggal, ini menurut Suluk Walisongo.


Kisah tentang kematian Syekh Siti Jenar ini berbeda dengan cerita dalam
Babad Demak. 
Menurut babad ini Syekh Siti jenar meninggal bukan atas kemauannya sendiri , tetapi ia di bunuh oleh Sunan Giri.
Keris di tusukkan ke Syekh Siti Jenar hingga tembus punggungnya dan mengucurkan darah kuning.
Menurut Suluk Syekh Siti Jenar, setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhasawa tahun Nirjamna Catur tunggal [1480 M] jenazahnya kemudian di bawa ke mesjid Demak lalu di letakkan di mesjid, karena saat itu maghrib tiba dan penguburan akan di lakukan esok paginya agar bisa di saksikan oleh raja, para ulama kemudian sepakat menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil mengucapkan pujian kepada Tuhan. Saat waktu sholat tiba para santri mengerjakan sholat di mesjid. Pada saat itu secara tiba-tiba terciumlah bau yang sangat harum, seperti bau kesturi. Selesai sholat para ulama kemudian memerintahkan para santri untuk keluar dari masjid, tinggal para ulama saja yang tetap berada di dalam masjid untuk menjaga jenazahnya. Karena bau harum terus menyengat maka Syekh Maulana Malaya mengajak ulama lainnya untuk membuka keranda Syekh Siti Jenar, ketika kerandanya di buka janazah Syekh Siti Jenar terlihat memancarkan sinar bagai rembulan yang indah, lalu muncullah pelangi yang indah memenuhi ruangan masjid, dari bawah peti memancar sinar yang sangat terang, seperti siang hari. Dengan cepat para ulama mendudukkan jenazah itu dengan gugup. Para ulama kemudian bersembah sujud sambil menciumi jenazah itu berganti-gantian sampai ujung jari, lalu di masukkan kembali ke dalam keranda, tetapi Syekh Malaya tampak tidak berkenan atas tindakan ulama lainnya.

Dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan juga Suluk Walisongo di ceritakan bahwa para ulama telah berbuat licik, yaitu mengganti mayat Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing kudisan. Mayat Syekh Siti Jenar sebenarnya di makamkan oleh para ulama di tempat yang di rahasiakan, kemudian keranda Syekh Siti Jenar di isi dengan bangkai anjing, bangkai anjing inilah yang kemudian di pertontonkan kepada masyarakat luas untuk menunjukkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah salah. Di ceritakan bahwa kelicikan itu di ketahui oleh seorang murid Syekh Siti Jenar yang bernama ki Luntang, yang datang ke Demak untuk menuntut balas. Diawali dengan perdebatan dengan para ulama, lalu Ki Luntang datang menjemput kematian. Dengan bersikap seperti gurunya, yaitu berkonsentrasi, lalu meninggalah Ki Luntang di Masjid Demak.
 
Ada beberapa versi lain tentang kematian Syekh Siti Jenar menurut vesi yang di kemukakan oleh
S. Soebardi:

Syekh Siti Jenar di penggal lehernya oleh Sunan Kalijaga, pertama-tama darahnya mengalir berwarna merah, tetapi kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudian berkata, ''Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad dalah utusannya.''
Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga dan terdengar kata-kata berikut ini:
 Jika seseorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang maha kuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan. Menurut Babad tanah Jawa, sebagaimana yang di sadur oleh S. Santoso, Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena ia terbang ke surga, tetapi lalu marah, karena badannya kembali ke masjid:
Sunan Giri berkata,   ''Tubuhnya harus di tikam dengan sebuah pedang kemudian di bakar.''
Syekh Maulana mengambil sebuah pedang dan kemudian menikamnya, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan berkata, ''Siti Jenar, kamu berkata kamu rela mati, tetapi ketika ditikam tidak mempan. Bukankah itu bohong?'' Syekh Siti jenar menerima banyak tikaman, tetapi ia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, ''Itu luka orang jahat, mengapa luka, tetapi tidak berdarah.''
Dari luka-luka pada tubuh Syekh Siti Jenar seketika keluar darah merah. Syekh Maulana berkata lagi, ''Itu luka orang biasa bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah, darah merah yang keluar berhenti, darah putih ganti mengalir.
Syekh Maulana Maghribi berkata ''ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dan lukanya. Sebetulnya kalau insan kamil betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya berarti kawula gusti tak terpisah.''
  Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti jenar hilang raib dan darahnya sirna. Syekh Maulana lalu membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, kemudian membungkusnya dengan kain putih dan mengumumkan kepada khalayak bahwa karena menolak syariat mayat Syekh Siti Jenar berubah menjadi seekor anjing. Anjing itu kemudian di bakar kemudian ada seorang penggembala kambing murid Siti Jenar  datang menghadap ulama. Ia berkata,   ''Saya dengar tuan-tuan telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau hal itu benar, lebih baik saya di bunuh juga, sebab saya ini juga Allah. Allah yang menggembalakan kambing.''
Syekh Maulana lalu membunuhnya dengan pedang yang sama dengan yang dipakai untuk menikam Syekh Siti Jenar seketika tubuh mayat itu hilang ghaib.

Lain lagi cerita versi
Serat Negara Kertabumi:
  Dalam serat negara Kertabumi, sebagaimana
di sunting oleh
Rahman Sulendranungrat,
Di kisahkan bahwa eksekusi Syekh Siti Jenar berbeda dengan yang lain. Seperti yang versi Jawa-Tengahan, sastra Kacirebonan ini menyatakan para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon merupakan kelompok oposisi atas kekuatan kesultanan Cirebon. Beberapa tokoh pengikutnya pernah mencoba untuk menduduki tahta, tetapi semuanya gagal. Ketika Pengging di lumpuhkan Syekh Siti Jenar yang pada waktu itu menyebarkan agamanya di sana kembali ke Cirebon dan diikuti oleh para pengikutnya dari Pengging. Kekutan Syekh Siti Jenar di sini menjadi kokoh, pengikutnya meluas ke Desa-desa setelah Syekh Datuk Kahfi wafat, sultan Cirebon meminta Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Amparan Jati Pangeran Punjungan bersedia, tetapi ia tidak mendapat murid karena orang-orang telah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Panglima bala tentara Cirebon, pangeran Carbon, adalah seorang pengikutnya, dijaga oleh muridnya yang banyak, syekh Siti Jenar dengan aman tinggal di Cirebon Girang. Berita itu terdengar oleh Sultan Demak bahwa musuhnya berada di Cirebon.
Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus dengan di sertai 700 prajurit menuju Cirebon, langkah pertama Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istana Pakuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak bergerak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjid agung Cirebon. Di sana para ulama telah berkumpul. Sunan Gunung jati bertindak sebagai hakim ketua. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan bahwa Syekh Siti Jenar di hukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan eksekusi itu dengan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa ini terjadi pada bulan safar, tahun 923 H atau 1506 M.
Jenazah Syekh Siti Jenar kemudian di makamkan pada suatu tempat, lalu banyak orang datang berziarah ke sana, para peziarah itu datang dari Cirebon, Jakarta, Banten, Parahiyangan dan Jawa Timur, dan bahkan dari Semenanjung Malaya. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar di pindahkan ke tempat lain yang di rahasiakan. Sedang di kuburan yang di kunjungi oleh orang-orang itu di masukkan bangkai anjing hitam. Ketika para peziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar di pindahkan ke Jawa Timur kuburan di buka ternyata yang ada di sana bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing, para peziarah terkejut dan heran tidak mengerti. Ketika itu Sultan Cirebon kemudian mengeluarkan instruksi agar orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan supaya meninggalkan ajaran Syekh Siti Jenar.
Menurut Agus Sunyoto:

Siti Jenar itu aslinya bernama Syekh Abdul Jalil. Ia adalah putra seorang ulama Malaka bernama Syekh Datuk Soleh yang hijarah ke tanah Caruban [Cirebon]. Sejak masih kecil Abdul Jalil di tinggal mati kedua orang tuanya. Ia diambil sebagai anak angkat oleh Ki Danusela seorang Kuwu Caruban. Ki Danusela adalah keturunan Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit. Dia menikah dengan Ratu Inten Dewi Putri Prabu Surawisesa Ratu Sanghiang, ratu Aji di Pakuan Pajajaran Keturunan Sri baduga Maharaja. Sejak kecil Abdul Jalil menimba ilmu agama Islam kepada ulama besar bernama Syekh datuk Kahfi, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mekkah dan Baghdad. Ia kembali ke Tanah Jawa untuk berdakwah menyebarkan gama Islam. Salah seorang muridnya yang terkasih adalah Raden Sahid yang di kemudian hari berjuluk Sunan Kalijaga.
Syekh Abdul Jalil membuka dukuh-dukuh baru yang tersebar di Pulau Jawa, dukuh-dukuh itu di namakan Lemah Abang, Si Jenar, Siti Abrit, Lemah Putih, Lemah Ireng. Di sana ia mengajarkan agama Islam secara kaffah antara syariat, thariqat, hakikat, dan makrifat di ajarkan secara berimbang dan berjenjang. Ajaran sufinya adalah apa yang di sebut Sasyahidan.
  Karena itu ia kemudian lebih di kenal sebagai syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar. Syekh Abdul Jalil tidak sembarangan mengajarkan Hakikat dan Makrifat hanya orang-orang yang khusus yang sungguh-sungguh mencari kebenaran yang ia ajari bukan sembarang orang apalagi orang awam.
Mnurut Syekh Abdul Jalil, untuk mencapai aku yang wajib di nafikan dari keberadaan seorang salik adalah aku. Selama aku masih mengaku ada maka Aku tidak mengakuinya. Sehingga selamanya aku akan terhijab dari Aku. Lamunan kosong [al-ummiyyah] yang membentuk angan-angan kosong [al-wahm] harus di hindari oleh para salik karena akan membawa ke sesatan al-mumtani yang terbit dari Al-ghayr.
Konon demikian banyaknya para pengikut Siti Jenar atau Syekh Abdul Jalil ini mereka memuja-mujanya bagaikan dewa. Padahal yang demikian itu tidak di kehendaki oleh Syekh Abdul Jalil. Maka buru-buru Syekh Abdul Jalil berpamit meninggalkan padepokan Siti Jenar. Sebelum pergi ia berwasiat kepada murid dan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya:
''Sebelum aku pergi meninggalkan kalian, sangat baik jika aku tinggalkan wasiat kepada kalian, yang dengan wasiat itu kalian tidak akan tersesat dalam menjalani hidup di dunia dan akhirat. ya dengan wasiat itu kalia akan selalu akan berada di jalan kebenaran sampai ke hadirat-Nya. Sebab itu jangan sekali-kali kalian melepaska wasiat yang aku tinggalkan itu. Pegang erat wasiat itu sebagai pusaka!''
''Pertama-tama inilah wasiatku setiap orang harus sadar jika segala sesuatu yang tergelar di dalam semesta ini adalah nisbi. Tidak ada yang bersifat mutlak. Lantaran itu masing-masing orang harus hidup madya [tengah-tengah], ora ngoyo [tidak berlebihan], dan ora ngogro [tidak melebihi batas]. Prinsip ini hendaknya kalian jadikan pusaka dalam segala hal yang menyangkut kehidupan kalian, baik yang duniawiyah maupun ukhrawiah dan ilahiah. Dalam kehidupan duniawiah, kalian bisa memaknai prinsip ini dengan kehidupan dunia yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga membuat orang tertimbun benda-benda kekayaannya. Kalian juga boleh memaknainya sebagai pengekangan terhadap ambisi kekuasaan yang membahayakan. Pendek kata maknailah prinsip madya itu sesuai kemampuan akal budi dan hati nurani kalian masing-masing dengan ukuran keseimbangan dan penghormatan atas Kehidupan.
''Di dalam kehidupan ruhaniah pun berlaku prinsip madya. Lantaran itu, akan melarang murid-murid dan pengikutku untuk bertapa di gua-gua dan di hutan-hutan, kurang makan, kurang tidur, tidak kawin, tidak bergaul dengan manusia, tenggelam dalam lautan ruhai. Sebab, hak-hak ruhani harus di penuhi secara pantas. Hak-hak jasmani pun hendaknya tidak di abaikan. Bayarlah hak ruhani dan jasmani secara seimbang. Bukan aku menganggap tidak baik perilaku orang-orang yang meninggalkan keduniawian dengan menjadi pertapa. Semua manusia bebas memilih yang terbaik bagi dirinya. Tetapi, bagi pengikut Syekh Siti Jenar, hal seperti itu tidak di benarkan. Hiduplah dengan prinsip tengah-tengah (masathan), yaitu madya. Madya. Madya. Seribu kali Madya.''
''Di dalam pengetahuan yang ilahi pun prinsip madya itu hendaknya tetap kalian pusakakan. Sebab, ada di antara umat islam yang memiliki pandangan berlebihan dalam memaknai yang ilahi. Mereka memandang bahwa Allah adalah Zat yang maha suci, Mahasempurna, Mahabaik, Mahakasih. Lantaran itu, dari Allah selalu memancar Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian, dan Kasih. Mereka menganggap mustahil dari Allah bisa memancar ketidak baikkan, Ktidak sempurnaan, Ketidak sucian, dan kemurkaan. Pandangan semacam itu sah bagi pengikut paham itu. Pandangan itu benar bagi yang meyakininya.''
    ''Tetapi, dengarlah, o murid-murid dan pengikutku bahwa aku Syekh Siti Jenar tidak pernah mengajarkan keyakinan yang berlebihan dan melampaui batas seperti itu. Ajaranku tetap bertolak dari prinsip-prinsip madya, wasathan, tengah-tengah. Sebab jika orang seorang menganggap bahwa Allah adalah kebaikan, kesempurnaan, kesucian, mahakasih, dan dari-Nya tidak bisa memancar ketidak baikkan, ketidak sempurnaan, ketidak sucian, dan kemurkaan maka sejatinya orang tersebut telah terperangkap ke dalam jaring-jaring masalah rumit yang bakal membawanya ke jurang kemusyrikan. Mereka akan menganggap ketidak baikan dan ketidaksempurnaan berasal dari Zat selain Allah, yaitu kuasa kejahatan dan kegelapan. Itu berarti mereka menganggap ada dua zat berbeda yaitu zat Allah dan zat selain Allah. Kalau keyakinan itu diikuti maka orang akan menolak keberadaan Asma Ilahi yang saling bertolak belakang (al-asma' al-mutaqabilah) yang berujung pada asma Allah sebagai keseluruhan Asma ilahi yang bertentangan' (majmu' al-asma' al-mutaqabalah). Mereka akan menolak nama ilahi yang maha menyesatkan (al-mudhil) , yang memberi kesempitan (al-qabidh), yang maha menista (al-mudzil), yang memberi bahaya (adh-Dharr), yang membinasakan (al-Mumit). Mereka juga akan mengingkari bahwa dunia yang tidak sempurna ini berasal dari Allah. Padahal sesuai prinsip inna li Allahi wa inna ilaihi raji'un : segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

   ''Dengan memegang teguh prinsip hidup madya ini, sangatlah tidak masuk akal jika kalian sebagai murid-murid dan pengikutku memperlakukan aku secara berlebihan. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan kalian menciummi kakiku , merangkuk lututku, mengusap jubahku, mengelus terompahku, bahkan mengambil tanah bekas telapak kakiku. itu berlebihan, itu melampaui batas, itu thanghut. itu pemberhalaan yang justru aku tentang selama ini.
Sebab Nabi Muhammad SAW, manusia agung yang menjadi panutanku, selalu menolak di perlakukan secara berlebihan. Dia selalu menampakkan kehambaan dan kerendah hatian. Dia selalu berada di tengah-tengah dan mengajarkan agar pengikut-pengikutnya pun berada di tengah-tengah (wasathan). Lantaran itu, mulai saat ini aku katakan bahwa mereka yang memperlakukan aku atau siapa pun diantraa manusia secara berlebihan dan bahkan memberhalakan, maka bukanlah dia itu dari antara pengikutku, apalagi murid ruhaniku.''

Itulah diantara wejangan Syekh Abdul Jalil. Kemudian ketika Syekh Abdul Jalil kembali ke Caruban ada seseorang bernama Hasan Ali membuat dukuh baru tak jauh dari dukuh Lemah Abang ia mendakwah dirinya sebagai Syeikh Lemah Abang. Padahal Syekh Lemah Abang sejatinya adalah Syekh Abdul Jalil. Orang ini sengaja memaknai nama gelar Syekh Abdul Jalil untuk kepentingannya sendiri. Hasan Ali ini adalah putra Resi Bungsu dan cucu dari Prabu Surawisesa Raja Pakuan Pajajaaran. Nama asli Hasan Ali adalah Raden Anggaraksa ia mengajarkan ilmu yang menjadi kebalikan dari ajaran Syekh Abdul Jalil.
Menurut Hasan Ali untuk mencapai Kebenaran Sejati di perlukan tata cara sebagai berikut:
  ''Untuk mencapai Aku maka yang wajib di kuat teguhkan adalah aku. Tanpa menguatkan angan-angan Khayalan menjadi Allah maka manusia tidak akan bisa menyatu dan menjadi Allah. Sebab itu, kuat dan teguhkan daya khayalmu bahwa engkau adalah Allah sendiri. Aku mu adalah Aku Allah.''
Diantara ajarannya adalah berupa teknik pernapasan di tambah sederet Do'a-do'a yang tak perlu di telaah maknanya, doa-doa yang di ajarkannya pun lazimnya berkait dengan ilmu kanuragan (kesaktian), ilmu pengobatan, ilmu sihir yang bercmpur aduk dengan ajaran batiniah.
Murid-murid yang umumnya datang dari kalangan awam tidak memahami ilmu-ilmu keislaman. Mereka tidak bisa membedakan mana ilmu pengetahuan ruhani yang menuju jalan kebenaran dan mana pengetahuan perdukunan yang menuju pemenuhan pamrih pribadi yang di liputi hasrat-hasrat nafsu rendah badani.
Kemudian ada orang bernama San Ali Anshar mengaku sebagai Syeikh Siti Jenar. Ia membuka perguruan yang di mintai orang-orang awam, dialah gurunya Hasan Ali alias Raden Anggaraksa. Seperti muridnya ia juga mengajarkan tarekat ganjil yang di campur dengan ilmu ketabiban, ilmu sihir dan ilmu kanuragan. Ia mengajarkan faham bersatunya hamba dengan Tuhan - Wahdatul wujud. Juga mengajarkan zikir berjamaah, yaitu di lakukan bersama antara jamaah laki-laki dan perempuan. Semua berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan banyak yang pingsn. Ia juga berpendapat wanita (istri) bisa di miliki secara bersama-sama oleh jamaahnya.
Menurut Agus Sunyoto:
sebenarnya tidak pernah ada sidang Para Walisongo untuk mengadili dan menghukum Siti Jenar. Cerita tentang pengadilan Wali Songo atas diri Siti Jenar adalah rekayasa atau buatan para murid Hasan Ali dan San Ali Anshar yang ingin mengagung-agungkan gurunya dan mendeskriditkan Dewan Walisongo. Jadi penulisan Kisah Siti Jenar sebagaimana tersebut dalam serat Syekh Siti Jenar yang di terjemaahkan d
ari karya R. Sosrowidjojo:
Syekh Siti Jenar yang telah meninggal dunia mulai dari awal sampai akhir tiada yang kelewatan. Kanjeng Maulana Sayid Maghribi menyatakan rasa terima kasih kepada Sunan Bonang, kemudian mengatakan dengan tenang sebagai berikut,   ''Nah, kawan-kawan sekalian, besok pagi kami persilakan Sri Sultan untuk datang menghadiri pemakaman Syekh Siti Jenar. Sekarang kita sekalian menjaga jenazah, sambil mengangkat takbir seperti yang di sunatkan dalam agama. Nanti setelah sholat Isya kita teruskan.''
Para wali menyetujui dan mentaati saran Syekh Maulana Maghribi. Syahdan ketika wali sedang Salat Isya, tercium bau harum semerbak seribu bunga, memenuhi seluruh ruangan masjid. Terkejutlah Walisongo demi mencium bau harum menusuk hidung itu,
berkatalah Syekh Maulana Maghribi :   ''Hai semua orang muk'min yang hadir dalam mesjid!saya persilakan kamu sekalian untuk keluar kecuali para wali satupun tidak boleh keluar untuk menjaga mayat Siti Jenar. Lainnya saya persilakan keluar, jangan sampai seseorang pun ketinggalan.''
Setelah para santri keluar semua pintu masjid di tutup rapat-rapat dan di kunci, yang masih tinggal di dalam masjid hanya Wali Songo. Maka berkatalah Syekh Maulana Maghribi dengan tenang:    ''Nah marilah kawan-kawan sekalian kita periksa mayat ini untuk mengetahui apa rahasia mayat sampai memeiliki bau harum semerbak luar biasa itu.''
Kemudian keranda di buka. Terkejutlah mereka ketika melihat jenazah Syekh Siti Jenar mengeluarkan cahaya terang benderang bagaikan bulan purnama, di sertai pelangi melingkar memenuhi ruang dalam masjid, mengalahkan penerangan lampu, ibarat suluh di malam gelap. Segera mayat di dudukkan oleh Wali Songo kemudian semua Wali Songo menyembah lahir batin jenazah Siti Jenar. Akhirnya jenazah di baringkan kembali dalam keranda.
Dengan adanya Suluk Linglung Sunan Kalijaga dan pernyataan Agus Sunyoto dalam bukunya Siti Jenar, kisah yang di muat tersebut di atas TIDAK BENAR!!!, tidak mungkin wali songo yang mempunyai pemahaman Tauhid Ahlusunnah Wal Jamaah mau menyembah jenazah Syekh Siti Jenar.
Masjid adalah tempat beribadah, tempat bersujud menyembah Allah. Tidak mungkin mihrab masjid di gunakan untuk mengubur bangkai anjing kudisan sebagaimana di sebutkan oleh Serat Siti Jenar.
Karena itu sejak semula kami mengingatkan para pembaca hendaklah hati-hati dalam membaca kisah Siti Jenar. ''Unsur pembalikkan fakta ternyata sudah ada sejak zaman dahulu''. Sebagai penutup marilah kita ingat kembali Wejangan Nabi Khidir kepada Sunan Kali Jaga.
      ''Dengan adanya agama Islam di maksudkan agar makhluk yang ada di bumi dan di langit, dan termasuk dirimu itu beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala di letakkan di muka bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak tampak di hadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud di bumi ini.
Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan bertemu Allah! Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah lah tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya. Dan janganlah sekali-kali dirimu menganggap sebagai Allah! ''